Chap : 2
Disclaimer:
Naruto © Kishimoto Masashi
Warning: AU, OOC, TYPO(S), sinetron banget
Naruto, Hinata: 25 tahun
♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀ ♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX XXXX
Naruto's point of view
Aku duduk di sini. Seperti biasa, saat makan aku duduk di kursi yang berseberangan dengan Hinata. Sejak aku membentaknya semalam, dia selalu kelihatan sedih. Dia pasti menangis semalaman. Walaupun aku tidak sekamar dengannya, tapi aku pernah memergokinya menangis sendirian di kamarnya. Apa aku hanya bisa membuatnya bersedih dan menangis? Kalau seperti itu, kenapa dia selalu bersikeras untuk mempertahankan pernikahan ini?
Sejak semalam, aku belum bicara sepatah katapun, begitupun dengannya. Dia juga selalu menunduk jika di depanku. Apa dia takut padaku?
Aku masih memperhatikannya yang terlihat tidak menikmati sarapannya. Aku menjadi tidak nafsu makan. Bukan karena makanannya tidak enak—masakan Hinata enak, sangat enak malah—tapi karena aku merasa bersalah pada Hinata, aku jadi tidak bisa merasakan enaknya.
Jujur, aku sangat menyesal. Semalam aku benar-benar lelah dan sedang tidak bisa mengontrol emosiku. Kemarahanku kemarin sebenarnya bukan karena Hinata. Aku hanya suntuk karena memikirkan hubunganku dan kekasihku yang belakangan ini menjadi renggang. Hinata yang tidak bersalah malah menjadi pelampiasanku…
Aku ingin meminta maaf pada Hinata. Tapi, kenapa rasanya sangat sulit untuk mengucapkannya? Bahkan, aku belum sanggup untuk mengeluarkan suaraku.
Aku berdehem sekali untuk melegakan tenggorokanku yang terasa tersumbat. Aku meraih gelasku yang berisi air mineral untuk turut membantu mendorong nasi yang sedari tadi sulit untuk kutelan.
"Hi..Hinata." Akhirnya aku bisa mengeluarkan suaraku.
"Y..ya?"
Pelan sekali suaranya. Apa dia takut mengeluarkan suaranya? Apa aku begitu menyeramkan? Kenapa dia belum berani untuk mengangkat wajahnya dan menatap mataku?
"Maaf," ucapku tulus.
Akhirnya Hinata tidak menunduk lagi dan… tersenyum padaku. Kami-sama… apa hanya mendengar kata maaf dariku sudah bisa membuatnya senang? Bagaimana jika aku melakukan lebih? Bagaimana jika aku tersenyum padanya? Sepertinya sejak aku menikahinya, aku belum pernah memberikan senyumku padanya.
Aku mencoba menarik sudut-sudut bibirku dan aku bisa melihat Hinata yang tersenyum lebih lebar dari sebelumnya. Entah kenapa aku jadi merasa lega saat melihatnya.
Tapi, kenapa aku jadi memikirkan perasaannya?
"Oh iya, mulai hari ini aku mengajar lagi."
"Hm, hati-hati saat mengendarai motor."
Hinata terlihat senang saat aku memberikan sedikit perhatian untuknya.
Senyumnya membuatku semakin merasa bersalah…
.
.
.
Normal pov
Hinata mengendarai skuter matic putihnya dengan wajah berseri-seri di balik helm. Ia merasa sangat senang karena Naruto akhirnya mau berbicara padanya. Hanya diajak bicara oleh Naruto, tetapi sudah bisa membuat Hinata merasa melayang hingga menembus awan. Berlebihan? Memang iya, tapi itulah Hinata. Ia bahagia karena Naruto tidak lagi mendiamkannya saat sarapan, memberikannya sedikit perhatian, dan yang paling membahagiakan… Naruto menunjukkan senyumnya.
Hinata percaya, bahwa segala sesuatu akan indah pada waktunya…
.
.
.
Naruto dan teman-teman sekantornya sedang menikmati makan siangnya di kafetaria. Naruto dan teman-temannya sejak sekolah menengah itu memang kompak, dari tempat kerja sampai divisi tempat mereka mengabdi. Mereka yang bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang makanan itu, sama-sama bertanggung jawab kepada manajer pemasaran.
"Aku salut pada istrimu, Naruto. Dia bersabar hidup denganmu yang menduakannya…" celetuk temannya yang berambut coklat jabrik secara tiba-tiba.
"Dia yang rela diduakan, Kiba," balas Naruto dengan nada suara yang terdengar sangat tenang.
"Kalau orang tuamu tahu bagaimana? Apalagi kalau mertuamu tahu kalau anak perempuan satu-satunya kau aniaya…" tambah si rambut coklat yang bernama lengkap Inuzuka Kiba.
"Memangnya siapa yang menganiaya? Aku bukan seorang suami yang suka melakukan kekerasan dalam rumah tangga…" Naruto tampak tidak terima.
"Iya, kau memang tidak menyakiti fisik. Tapi menyakiti batin. Hati."
Naruto hanya menunduk dan memasukkan nasi ke mulutnya lagi. Entah mengapa nasi tersebut jadi tidak bisa ditelannya. Bahkan, terasa sulit untuk mengunyahnya.
"Luka fisik awalnya memang sakit, tapi mudah sembuh dan terkadang nggak berbekas. Tapi kalau hati, biasanya forgive but not forget. Kau harus hati-hati, Naruto. Karena tidak hanya satu hati yang akan tersakiti…"
Kiba terlihat tenang saat mengatakannya. Tapi Naruto tahu kalau temannya yang cerewet itu sedang serius, karena Kiba jarang memberikan petuah kepadanya seperti sekarang. Yang bisa dilakukannya hanya mendengarkan Kiba, dan ia memang sedang tidak berminat untuk menyela. Mungkin belum…
"Seharusnya kita puas dengan apa yang kita miliki. Seharusnya bersyukur jika ada yang mencintai kita dengan setulus hati, bukannya menyakiti…" sahut temannya yang berbadan subur, bernama Akimichi Chōji.
"Kau menyindirku?" Naruto sedikit meninggikan suaranya. Alis kanannya tampak lebih tinggi dari alis sebelahnya.
"Aku akui, kekasihmu memang cantik dan seksi. Tapi, kalau aku sih nggak akan senang jika istriku atau orang yang kucintai menunjukkan keseksiannya di depan pria lain seperti kekasihmu itu. Kulihat, dia terkadang berlebihan dalam berpakaian dan berdandan…" Kiba menambahkan lagi.
"Jangan menjelekkan kekasihku. Kau tidak tahu apa-apa tentang dia," seru Naruto, dengan tetap menjaga volume suaranya.
"Mungkin kalau aku sih buat main-main saja kalau wanita seperti itu. Nggak untuk kunikahi," sahut teman Naruto yang berambut hitam, yaitu Nara Shikamaru.
"Diam kau, rambut nanas." Suara Naruto terdengar geram, tapi ia masih mengendalikan suaranya agar tidak mengganggu pegawai lain yang juga sedang menikmati makan siangnya.
Shikamaru tampak cuek dan kembali menikmati makanannya. Begitupun dengan Chōji.
"Dia juga gila belanja. Aku bisa miskin kalau istriku seperti dia."
"Kau ingin berantem denganku, ya?" Naruto memberikan tatapan mematikan kepada Kiba.
"Bukannya hubunganmu dengan kekasihmu renggang? Gara-gara kau tidak mau membelikan apa yang dimintanya seminggu yang lalu? Lebih tepatnya kau nggak mampu."
Naruto tidak bisa lagi membalas Kiba karena yang dikatakannya memang benar. Mereka berempat sudah bersahabat sejak lama, dan mereka juga sama-sama berasal dari keluarga sederhana. Bukan anak orang kaya.
"Aku hanya ingin kau sadar. Aku kasihan pada Hinata. Dia sudah seperti adikku sendiri. Aku nggak mau kau menyakitinya." Kiba memang dekat dengan Hinata sejak menuntut ilmu di bangku sekolah menengah. Satu sekolah dengan Naruto, Shikamaru, dan Chōji juga.
"Aku mengatakan ini karena aku tidak tahan lagi, Naruto."
Naruto seolah tidak menghiraukan Kiba dengan terus memasukkan nasi ke mulutnya, padahal ia sama sekali tidak bisa untuk mengabaikannya.
"Aku juga nggak mau kalau kau menyesal nantinya…" Kiba mengambil lauk Naruto yang sedari tadi didiamkan oleh pemiliknya. Ia sedikit heran karena Naruto tidak merespon. Ia hanya mengangkat bahunya melihat sikap Naruto yang menurutnya aneh.
"Padahal tipe wanita seperti Hinata yang kuidam-idamkan."
Naruto mengangkat kepalanya dan menatap Kiba dengan alis berkerut.
"Kalau kau masih berniat menyia-nyiakannya terus, lebih baik kau berikan padaku saja."
Naruto tampak memelototkan matanya. "Memangnya Hinata barang?"
"Kenapa? Cemburu? Aku 'kan hanya bercanda," balas Kiba dengan santainya.
Tidak ada lagi yang membuka topik baru di antara mereka berempat. Mereka menikmati makanannya dalam diam.
Jam istirahat hampir berakhir. Mereka semua kembali ke meja kerjanya masing-masing. Sebelum meninggalkan kafetaria, Naruto membeli kopi panas di mesin jual otomatis. Pandangan matanya tampak kosong saat ia menghirup aroma kopinya.
"Apa yang dikatakan Kiba membuatku menyadari akan kelalimanku terhadap Hinata selama ini. Mulai hari ini, aku ingin mencoba untuk bersikap selayaknya seorang suami. Hinata berhak mendapatkan haknya sebagai seorang istri. Bukankah dia sudah bersabar selama satu tahun lebih hidup seatap denganku? Walaupun aku tidak menjamin kalau aku akan bisa mencintainya…" batin Naruto.
Naruto memang tidak menjamin akan bisa membalas cinta Hinata. Tetapi, Naruto juga tidak bisa menjamin kalau ia tidak akan mencintai Hinata…
.
.
.
Naruto pulang lebih awal hari ini. Ia tidak ada lembur, jadi bisa pulang sore. Biasanya, Naruto pulang petang, saat makan malam sudah dihidangkan dengan rapi di meja makan. Terkadang ia juga pulang saat makanan di meja sudah dingin, dan Hinata yang akan memanaskannya kembali.
Naruto berjalan mendekati sakelar lampu yang ada di ruang tamu, dan menyalakan lampunya karena di dalam rumahnya sudah mulai gelap. Ia juga menyalakan lampu di ruangan-ruangan lainnya.
Naruto berjalan ke dapur. Sepi. Sepertinya Hinata belum pulang dari mengajar. Naruto memang tidak melihat motor Hinata terparkir di depan rumah, berarti Hinata memang belum pulang. Naruto jadi merasakan bagaimana jika sendirian di rumah, dan jadi mengetahui rasanya menunggu kedatangan teman serumahnya. Mungkin Hinata juga merasakannya saat Naruto pulang malam.
Saat Naruto berjalan ke kamarnya, ia merasakan getaran ponsel di saku celananya. Wajahnya tampak cerah dan senyumnya mengembang saat melihat siapa yang menghubunginya. Dengan semangat ia menjawab telepon itu.
Belum sempat Naruto mengeluarkan suaranya, tetapi seseorang di seberang sana sudah mendahuluinya bicara, "Kita putus saja."
"Apa?" Naruto membulatkan matanya. Selanjutnya mimik wajah Naruto berubah muram, dan senyumnya perlahan memudar. Ia menjatuhkan jas dan tas kerjanya yang semula berada di tangannya yang tidak menggenggam ponsel. "Kita sudah lama menjalin hubungan—"
"Lalu kenapa? Kau akan menceraikan istrimu, lalu menikahiku? Kelamaan. Aku juga udah nggak mau menunggumu lagi."
"Kenapa?" tanya Naruto dingin. "Aku mencintaimu…"
"Aku juga mencintaimu. Tapi sebagai wanita, aku membutuhkan comfort and stability. Dan kau… tidak bisa memenuhinya."
Naruto hanya diam. Ia melonggarkan dasinya yang mendadak terasa mencekiknya. Ia sadar kalau yang dikatakan lawan bicaranya memang benar. Akhir-akhir ini, hubungan Naruto dengan kekasihnya mulai renggang karena ia tidak bisa memenuhi permintaan kekasihnya itu. Ia memang miskin, dan penghasilannya tidak seberapa—tapi masih bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari dan juga masih ada sisa untuk ditabung.
"Aku memang matre. Wanita mana yang nggak butuh uang. Bullshit, kalau ada yang bilang hanya butuh cinta. Uang memang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang. Cinta saja nggak bakalan bisa menjamin kelangsungan hidupku."
Naruto merasa ada yang mengganjal tenggorokannya. Ia sama sekali belum bisa mengeluarkan suaranya untuk membalas apa yang dikatakan wanita yang pernah hampir dinikahinya itu.
"Kau diam, berarti setuju…"
Naruto memejamkan matanya rapat-rapat. Ia juga meremas rambutnya dengan tangan yang tidak digunakannya untuk memegang ponsel. Rahangnya tampak mengeras karena ia menekan kuat gigi-giginya. Setelah cukup lama ditemani sepi, Naruto membuka matanya kembali. Ia menarik nafas dalam-dalam, dan menghembuskannya perlahan.
"Oke! Kita putus!" seru Naruto akhirnya.
Dan telepon pun terputus…
.
#~**~#
==>_| ~T BERSAMBUNG..............
Disclaimer:
Naruto © Kishimoto Masashi
Warning: AU, OOC, TYPO(S), sinetron banget
Naruto, Hinata: 25 tahun
♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Naruto's point of view
Aku duduk di sini. Seperti biasa, saat makan aku duduk di kursi yang berseberangan dengan Hinata. Sejak aku membentaknya semalam, dia selalu kelihatan sedih. Dia pasti menangis semalaman. Walaupun aku tidak sekamar dengannya, tapi aku pernah memergokinya menangis sendirian di kamarnya. Apa aku hanya bisa membuatnya bersedih dan menangis? Kalau seperti itu, kenapa dia selalu bersikeras untuk mempertahankan pernikahan ini?
Sejak semalam, aku belum bicara sepatah katapun, begitupun dengannya. Dia juga selalu menunduk jika di depanku. Apa dia takut padaku?
Aku masih memperhatikannya yang terlihat tidak menikmati sarapannya. Aku menjadi tidak nafsu makan. Bukan karena makanannya tidak enak—masakan Hinata enak, sangat enak malah—tapi karena aku merasa bersalah pada Hinata, aku jadi tidak bisa merasakan enaknya.
Jujur, aku sangat menyesal. Semalam aku benar-benar lelah dan sedang tidak bisa mengontrol emosiku. Kemarahanku kemarin sebenarnya bukan karena Hinata. Aku hanya suntuk karena memikirkan hubunganku dan kekasihku yang belakangan ini menjadi renggang. Hinata yang tidak bersalah malah menjadi pelampiasanku…
Aku ingin meminta maaf pada Hinata. Tapi, kenapa rasanya sangat sulit untuk mengucapkannya? Bahkan, aku belum sanggup untuk mengeluarkan suaraku.
Aku berdehem sekali untuk melegakan tenggorokanku yang terasa tersumbat. Aku meraih gelasku yang berisi air mineral untuk turut membantu mendorong nasi yang sedari tadi sulit untuk kutelan.
"Hi..Hinata." Akhirnya aku bisa mengeluarkan suaraku.
"Y..ya?"
Pelan sekali suaranya. Apa dia takut mengeluarkan suaranya? Apa aku begitu menyeramkan? Kenapa dia belum berani untuk mengangkat wajahnya dan menatap mataku?
"Maaf," ucapku tulus.
Akhirnya Hinata tidak menunduk lagi dan… tersenyum padaku. Kami-sama… apa hanya mendengar kata maaf dariku sudah bisa membuatnya senang? Bagaimana jika aku melakukan lebih? Bagaimana jika aku tersenyum padanya? Sepertinya sejak aku menikahinya, aku belum pernah memberikan senyumku padanya.
Aku mencoba menarik sudut-sudut bibirku dan aku bisa melihat Hinata yang tersenyum lebih lebar dari sebelumnya. Entah kenapa aku jadi merasa lega saat melihatnya.
Tapi, kenapa aku jadi memikirkan perasaannya?
"Oh iya, mulai hari ini aku mengajar lagi."
"Hm, hati-hati saat mengendarai motor."
Hinata terlihat senang saat aku memberikan sedikit perhatian untuknya.
Senyumnya membuatku semakin merasa bersalah…
.
.
.
Normal pov
Hinata mengendarai skuter matic putihnya dengan wajah berseri-seri di balik helm. Ia merasa sangat senang karena Naruto akhirnya mau berbicara padanya. Hanya diajak bicara oleh Naruto, tetapi sudah bisa membuat Hinata merasa melayang hingga menembus awan. Berlebihan? Memang iya, tapi itulah Hinata. Ia bahagia karena Naruto tidak lagi mendiamkannya saat sarapan, memberikannya sedikit perhatian, dan yang paling membahagiakan… Naruto menunjukkan senyumnya.
Hinata percaya, bahwa segala sesuatu akan indah pada waktunya…
.
.
.
Naruto dan teman-teman sekantornya sedang menikmati makan siangnya di kafetaria. Naruto dan teman-temannya sejak sekolah menengah itu memang kompak, dari tempat kerja sampai divisi tempat mereka mengabdi. Mereka yang bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang makanan itu, sama-sama bertanggung jawab kepada manajer pemasaran.
"Aku salut pada istrimu, Naruto. Dia bersabar hidup denganmu yang menduakannya…" celetuk temannya yang berambut coklat jabrik secara tiba-tiba.
"Dia yang rela diduakan, Kiba," balas Naruto dengan nada suara yang terdengar sangat tenang.
"Kalau orang tuamu tahu bagaimana? Apalagi kalau mertuamu tahu kalau anak perempuan satu-satunya kau aniaya…" tambah si rambut coklat yang bernama lengkap Inuzuka Kiba.
"Memangnya siapa yang menganiaya? Aku bukan seorang suami yang suka melakukan kekerasan dalam rumah tangga…" Naruto tampak tidak terima.
"Iya, kau memang tidak menyakiti fisik. Tapi menyakiti batin. Hati."
Naruto hanya menunduk dan memasukkan nasi ke mulutnya lagi. Entah mengapa nasi tersebut jadi tidak bisa ditelannya. Bahkan, terasa sulit untuk mengunyahnya.
"Luka fisik awalnya memang sakit, tapi mudah sembuh dan terkadang nggak berbekas. Tapi kalau hati, biasanya forgive but not forget. Kau harus hati-hati, Naruto. Karena tidak hanya satu hati yang akan tersakiti…"
Kiba terlihat tenang saat mengatakannya. Tapi Naruto tahu kalau temannya yang cerewet itu sedang serius, karena Kiba jarang memberikan petuah kepadanya seperti sekarang. Yang bisa dilakukannya hanya mendengarkan Kiba, dan ia memang sedang tidak berminat untuk menyela. Mungkin belum…
"Seharusnya kita puas dengan apa yang kita miliki. Seharusnya bersyukur jika ada yang mencintai kita dengan setulus hati, bukannya menyakiti…" sahut temannya yang berbadan subur, bernama Akimichi Chōji.
"Kau menyindirku?" Naruto sedikit meninggikan suaranya. Alis kanannya tampak lebih tinggi dari alis sebelahnya.
"Aku akui, kekasihmu memang cantik dan seksi. Tapi, kalau aku sih nggak akan senang jika istriku atau orang yang kucintai menunjukkan keseksiannya di depan pria lain seperti kekasihmu itu. Kulihat, dia terkadang berlebihan dalam berpakaian dan berdandan…" Kiba menambahkan lagi.
"Jangan menjelekkan kekasihku. Kau tidak tahu apa-apa tentang dia," seru Naruto, dengan tetap menjaga volume suaranya.
"Mungkin kalau aku sih buat main-main saja kalau wanita seperti itu. Nggak untuk kunikahi," sahut teman Naruto yang berambut hitam, yaitu Nara Shikamaru.
"Diam kau, rambut nanas." Suara Naruto terdengar geram, tapi ia masih mengendalikan suaranya agar tidak mengganggu pegawai lain yang juga sedang menikmati makan siangnya.
Shikamaru tampak cuek dan kembali menikmati makanannya. Begitupun dengan Chōji.
"Dia juga gila belanja. Aku bisa miskin kalau istriku seperti dia."
"Kau ingin berantem denganku, ya?" Naruto memberikan tatapan mematikan kepada Kiba.
"Bukannya hubunganmu dengan kekasihmu renggang? Gara-gara kau tidak mau membelikan apa yang dimintanya seminggu yang lalu? Lebih tepatnya kau nggak mampu."
Naruto tidak bisa lagi membalas Kiba karena yang dikatakannya memang benar. Mereka berempat sudah bersahabat sejak lama, dan mereka juga sama-sama berasal dari keluarga sederhana. Bukan anak orang kaya.
"Aku hanya ingin kau sadar. Aku kasihan pada Hinata. Dia sudah seperti adikku sendiri. Aku nggak mau kau menyakitinya." Kiba memang dekat dengan Hinata sejak menuntut ilmu di bangku sekolah menengah. Satu sekolah dengan Naruto, Shikamaru, dan Chōji juga.
"Aku mengatakan ini karena aku tidak tahan lagi, Naruto."
Naruto seolah tidak menghiraukan Kiba dengan terus memasukkan nasi ke mulutnya, padahal ia sama sekali tidak bisa untuk mengabaikannya.
"Aku juga nggak mau kalau kau menyesal nantinya…" Kiba mengambil lauk Naruto yang sedari tadi didiamkan oleh pemiliknya. Ia sedikit heran karena Naruto tidak merespon. Ia hanya mengangkat bahunya melihat sikap Naruto yang menurutnya aneh.
"Padahal tipe wanita seperti Hinata yang kuidam-idamkan."
Naruto mengangkat kepalanya dan menatap Kiba dengan alis berkerut.
"Kalau kau masih berniat menyia-nyiakannya terus, lebih baik kau berikan padaku saja."
Naruto tampak memelototkan matanya. "Memangnya Hinata barang?"
"Kenapa? Cemburu? Aku 'kan hanya bercanda," balas Kiba dengan santainya.
Tidak ada lagi yang membuka topik baru di antara mereka berempat. Mereka menikmati makanannya dalam diam.
Jam istirahat hampir berakhir. Mereka semua kembali ke meja kerjanya masing-masing. Sebelum meninggalkan kafetaria, Naruto membeli kopi panas di mesin jual otomatis. Pandangan matanya tampak kosong saat ia menghirup aroma kopinya.
"Apa yang dikatakan Kiba membuatku menyadari akan kelalimanku terhadap Hinata selama ini. Mulai hari ini, aku ingin mencoba untuk bersikap selayaknya seorang suami. Hinata berhak mendapatkan haknya sebagai seorang istri. Bukankah dia sudah bersabar selama satu tahun lebih hidup seatap denganku? Walaupun aku tidak menjamin kalau aku akan bisa mencintainya…" batin Naruto.
Naruto memang tidak menjamin akan bisa membalas cinta Hinata. Tetapi, Naruto juga tidak bisa menjamin kalau ia tidak akan mencintai Hinata…
.
.
.
Naruto pulang lebih awal hari ini. Ia tidak ada lembur, jadi bisa pulang sore. Biasanya, Naruto pulang petang, saat makan malam sudah dihidangkan dengan rapi di meja makan. Terkadang ia juga pulang saat makanan di meja sudah dingin, dan Hinata yang akan memanaskannya kembali.
Naruto berjalan mendekati sakelar lampu yang ada di ruang tamu, dan menyalakan lampunya karena di dalam rumahnya sudah mulai gelap. Ia juga menyalakan lampu di ruangan-ruangan lainnya.
Naruto berjalan ke dapur. Sepi. Sepertinya Hinata belum pulang dari mengajar. Naruto memang tidak melihat motor Hinata terparkir di depan rumah, berarti Hinata memang belum pulang. Naruto jadi merasakan bagaimana jika sendirian di rumah, dan jadi mengetahui rasanya menunggu kedatangan teman serumahnya. Mungkin Hinata juga merasakannya saat Naruto pulang malam.
Saat Naruto berjalan ke kamarnya, ia merasakan getaran ponsel di saku celananya. Wajahnya tampak cerah dan senyumnya mengembang saat melihat siapa yang menghubunginya. Dengan semangat ia menjawab telepon itu.
Belum sempat Naruto mengeluarkan suaranya, tetapi seseorang di seberang sana sudah mendahuluinya bicara, "Kita putus saja."
"Apa?" Naruto membulatkan matanya. Selanjutnya mimik wajah Naruto berubah muram, dan senyumnya perlahan memudar. Ia menjatuhkan jas dan tas kerjanya yang semula berada di tangannya yang tidak menggenggam ponsel. "Kita sudah lama menjalin hubungan—"
"Lalu kenapa? Kau akan menceraikan istrimu, lalu menikahiku? Kelamaan. Aku juga udah nggak mau menunggumu lagi."
"Kenapa?" tanya Naruto dingin. "Aku mencintaimu…"
"Aku juga mencintaimu. Tapi sebagai wanita, aku membutuhkan comfort and stability. Dan kau… tidak bisa memenuhinya."
Naruto hanya diam. Ia melonggarkan dasinya yang mendadak terasa mencekiknya. Ia sadar kalau yang dikatakan lawan bicaranya memang benar. Akhir-akhir ini, hubungan Naruto dengan kekasihnya mulai renggang karena ia tidak bisa memenuhi permintaan kekasihnya itu. Ia memang miskin, dan penghasilannya tidak seberapa—tapi masih bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari dan juga masih ada sisa untuk ditabung.
"Aku memang matre. Wanita mana yang nggak butuh uang. Bullshit, kalau ada yang bilang hanya butuh cinta. Uang memang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang. Cinta saja nggak bakalan bisa menjamin kelangsungan hidupku."
Naruto merasa ada yang mengganjal tenggorokannya. Ia sama sekali belum bisa mengeluarkan suaranya untuk membalas apa yang dikatakan wanita yang pernah hampir dinikahinya itu.
"Kau diam, berarti setuju…"
Naruto memejamkan matanya rapat-rapat. Ia juga meremas rambutnya dengan tangan yang tidak digunakannya untuk memegang ponsel. Rahangnya tampak mengeras karena ia menekan kuat gigi-giginya. Setelah cukup lama ditemani sepi, Naruto membuka matanya kembali. Ia menarik nafas dalam-dalam, dan menghembuskannya perlahan.
"Oke! Kita putus!" seru Naruto akhirnya.
Dan telepon pun terputus…
.
#~**~#
==>_| ~T BERSAMBUNG..............
Tidak ada komentar:
Posting Komentar