Versi Teks Naruto Chapter 580
-Waktu Adik dan Kakak-
Itachi bersama dengan Sasuke berhadapan dengan
Kabuto.
Meski Sasuke dan Itachi merupakan shinobi kuat
Uchiha, Kabuto tetap tak gentar dan percaya diri
dengan kemampuan yang ia miliki. Dan ternyata,
Kabuto memang tak bisa dianggap remeh. Lelaki yang
dulunya cuma pelayan Orochimaru itu kini telah
mendapat kekuatan mode Sennin. Dan bahkan, ia
mengklaim kalau dirinya bukan lagi seekor ular,
melainkan Naga.
"Sage Jutsu - Hakugeki!!!!" Kabuto menembakan sebuah
tembakan berbentuk naga dari mulutnya.
Itachi berlari menuju Sasuke, sementara
tembakan naga itu melingkar-lingkar hingga
mengeluarkan cahaya menyilaukan dan getaran angin
dengan bunyi yang benar-benar bising.
"Telingaku!!" Sasuke menutupi telinganya dengan kedua
tangan.
"Aku merasa seolah tulang-tulangku saling bergesekan"
Ucap Sasuke dalam hati.
"Cahaya dan suara itu akan merusak indra
pendengaran kalian!
Kemudian tubuh kalian tak akan mampu
bergerak, jutsu ini akan membuat kalian
lumpuh!!" Kabuto semakin mendekat.
"Aku mampu menggunakan kornea ularku untuk
bertahan dalam cahaya ini ... Kemudian tubuhku yang
mampu menjadi cair untuk menangani bunyinya ... Jadi,
ku rasa hanya aku yang mampu bergera bebas
sekarang!!!!"
"Akh, tidak ... Kalau begini kita tak akan mampu
mengendalikan Susano'o" Pikir Sasuke.
"Mulai menyerang Itachi terlebih dahulu
kedengarannya ide yang bagus ... Aku akan mampu
membuat ulang segelnya dan menjadikannya
bonekaku kembali ..." Pikir Kabuto.
"Tidak ... Aku rasa aku akan lebih baik kalau ..." Kabuto
malah bersiap untuk menyerang Sasuke.
"!!!" Kabuto membuka mulut lebar-lebar benar-benar
seperti ular dan bersiap untuk menelan.
Akan tetapi, Itachi mampu melindungi Sasuke dengan
menghempas serangannya.
Dan, efek dari jutsu tadipun menghilang.
"Itachi ... Kau sangat hebat dalam membaca
gerakanku ... Apa itu karena kau mampu merasakan
chakraku? Tapi, bagaimana ..." Kabuto teringat akan
kata-kata Itachi :
"Ketika aku dikendalikan olehmu, Aku bisa mengetahui
dengan baik sumber chakra yang mengendalikanku"
"Aku ingat tadi kau mengatakan ketika aku
dikendalikan olehmu ...
Tapi jika begitu, berarti kau tidak bisa merasakannya
sekarang kan? Apa kau mau berbohong?" tambah
Kabuto
"Siapa bilang waktu itu aku mampu merasakan
chakramu?
Aku mengetahui sumber chakra yang
mengendalikanku karena saat itu aku bersama
Nagato ... Aku tak punya kemampuan seperti itu" Ucap
Itachi.
"Aku hanya mencoba untuk mengetahui apa yang kau
pikirkan ... Jadi, aku sudah bersiap-siap" Jelas kakak
Sasuke.
"Jika sejak awal kau ingin menangkap Sasuke, kau
pasti akan menyerang Sasuke terlebih dahulu..
Terlebih akan lebih mudah melakukannya saat efek
jutsumu belum hilang ... Dan selanjutnya kau bahkan
bisa menggunakan Sasuke untuk membuatku menjadi
mainanmu"
"Hah, kau memang Uchiha yang benar-benar cerdas ...
Berbeda dari yang lainnya ..." Ucap Kabuto.
"Kau mampu dengan mudah membaca pikiran orang,
dan menggunakannya dalam pertarungan ... Itu jugalah
yang menjadikanmu seorang pembohong berbakat,
yang bahkan tak mengungkap kebenarannya sampai
akhir hayat...
Benar-benar pembohong" Lanjut Kabuto.
"Cih!!!" Sasuke kesal dan kemudian menebas Kabuto
dengan pedang listriknya.
Akan tetapi, dengan mudah Kabuto menghindarinya.
"Disini!" Kabuto telah berada di langit-langit gua.
"Meskipun kalian berdua mengatakan akan
bekerjasama ... Sebenarnya kalian tak bergerak
sebagai tim ...
Jadi, kalian tak akan mampu melawan kemampuan
perseptualku ... Dan karena kau adalah kakak yang
benar-benar tak dapat dipercaya, kalian berdua tak
tahu banyak tentang masing-masing kan?" ucap Kabuto
"..." Sasuke terdiam.
"Sasuke ..." Itachi menyapa adiknya.
"Apa kau masih ingat saat dulu kita melakukan misi
bersama menangkap Inoshishi?"
"???" Sejenak Sasuke terdiam.
Dan kemudian ...
"Oh yeah, aku mengingatnya" Sasuke teringat akan
apa yang mereka lakukan waktu itu.
"Ayo kita lakukan" Ucap Itachi.
"Ok!" Mereka berdua bersiap dengan sebuah rencana.
"???" Kabuto tak mengerti apa yang ingin
mereka lakukan.
Dulu, Sasuke dan Itachi pernah mendapat misi bersama
yaitu untuk menangkap baabi raksasa.
Kakak dan adik itu, Itachi dengan kunainya sementara
Sasuke membawa panah bekerja sama untuk
menangkap si baabi.
Dan kini, mereka ingin mempraktekannya pada Kabuto.
Kalau dulu Itachi menggiring si baabi menggunakan
kunai berpeledak, kini ia menggunakan tembakan dari
Susano'o untuk membuat ledakan di sekitar target. Dan
sama seperti si baabi, Kabuto tampak Tersudutkan.
"Sekarang!!!" Sasuke bersiap untuk memanah dengan
panah Susano'onya.
Batsss!!!!!
Pertama-tama tembakan Susano'o Itachi menembak
ular yang melilit Kabuto, menjadikannya tak mampu
bergerak, sama halnya saat dulu Itachi mengunci ekor
si baabi.
Selanjutnya, batsss!!!
Sasuke menembakan panahnya, sedikit lagi dan
hampir kena.
"Dia hendak meloloskan diri dengan memotong ular
yang melilitnya!!" Sasuke baru sadar kalau Kabuto
mampu melakukan itu.
Dan benar saja lagi-lagi Kabuto lolos dan kini ia bahkan
telah berada di depan Itachi, dan dengan tepat
menusuk perut Itachi hingga tembus.
"!!" Sasuke kaget.
Namun tiba-tiba, tubuh Itachi menyebar menjadi
gagak. kemudian, gagak-gagak itu menyatu kembali
serta dengan cepat menebas kepala Kabuto. Kabuto
menghindar, namun tanduknya sukses terpotong oleh
tebasan tadi.
"Heh" Sasuke tersenyum kemenangan.
Namun ...
"Yah, aku hampir melupakannya ... Aku tak terlalu
membutuhkannya" Ucap Kabuto dengan santai.
Namun setidaknya, mereka berhasil mendesak Kabuto
dan sejak awal tujuan mereka memang bukan untuk
membunuhnya.
Dulu, saat berburu baabi, tembakan Sasuke juga
meleset.Kemudian, Sasuke kecil berkata : "Maaf, kakak"
"Kau masih harus banyak belajar" Sahut Itachi.
Dan sekarang ...
"Sasuke, ku rasa melawan baabi seperti itu sekarang
sangat mudah bagimu" Ucap Itachi.
"Untuk sekarang target kita adalah ular" Sasuke tetap
fokus.
"Yah"
Mereka berdua bersiap untuk berburu ular.
blog yang menyediakan segala informasi tentang anime naruto.. dan prediksi chapter2 terbaru
Jumat, 30 Maret 2012
Kamis, 29 Maret 2012
NARUTO 581 PREDICTION 1
Spoiler:NARUTO 581 PREDICTION 1581 Blind understanding
Sasuke will say that as long as Kabuto keeps his eyes closed they can't defeat him without killing him and Itachi will say that there is a way to pry open Kabuto's eyes. Kabuto will be amused and ask what that way is and Itachi will say that it's close combat.
Itachi will say that he attacked Kabuto with Sasuke's sword to prove his theory. Kabuto isn't quite used to fighting with his eyes closed and that in close combat with the constantly varying angles of attack there is a slight delay in his response which is why Itachi was able to cut off Kabuto's horn.
Kabuto will congratulate Itachi on that assessment, but say that it doesn't mean anything if Itachi isn't fast enough to exploit that slight delay. Which is why Itachi tells Sasuke to take the front while he will support him from the back.
Sasuke will use Chidori Nagashi travelling through the ground to attack, but Kabuto will jump into the air to evade it. Sasuke will take the opening to get into close range and attack Kabuto with taijutsu. Kabuto will retreat and Sasuke will pursue him. From the back Itachi will use Amaterasu to cut off Kabuto's retreat.
With Kabuto cornered Sasuke will talk about how the weakness of Kabuto is lightning, because it cancels Suigetsu's jutsu and shock him by using the first stage of the Raikage's lightning armor to attack. Sasuke rushes forward and Kabuto is for the first time hard pressed to evade.
At the same time Itachi throws Sasuke's sword at Kabuto and a moment later attacks with the kage shuriken jutsu from behind and a multitude of shuriken attack Kabuto. Kabuto is confident saying that shuriken won't be able to get through Sage Mode, but in the last second as they pass him by Sasuke uses Chidori Nagashi on the kunai.
With lightning charged kunai coming from every direction as well as Sasuke attacking him at the same time Kabuto is forced to open his eyes to keep up with it. He takes care not to look at Itachi or Sasuke directly, but he happens to look at Sasuke's sword which is once again stuck in the wall next to his head and sees that Itachi's MS is mirrored in the blade of the sword.
Itachi uses Tsukiyomi in that instant. End of chapter.
tl;dr Itachi and Sasuke attack together, Kabuto is forced to open his eyes and Itachi tricks Kabuto into Tsukiyomi by using Sasuke's sword as a mirror.
Spoiler:NARUTO 581 PREDICTION 2Naruto Chapter 581 : The man behind everything.
Chapter starts with Kabuto healing his horn
Sasuke: that's right...he has karin's abilities...what a pain.
Kabuto: As always, very impressive Itachi.
Itachi: Enough talk, let's finish this.
Sasuke: Right.
Itachi and Sasuke charge at Kabuto.
Kabuto: Tell me Itachi, have you ever wondered who was realy behind the mask?
Itachi stops
Itachi: !
Sasuke: What? The mask? What mask?
Kabuto: The one the both of you call Madara Uchiha.
Sasuke: What about him...
Itachi: *Kabuto....do you even know what happened...how*
Kabuto: kukuku....
Sasuke: Speak up!
Kabuto: I see...so you never told Sasuke what REALLY happened.
Itachi: Enough Kabuto. He doesn't need to hear it.
Sasuke: Hear what? Speak damit!
Kabuto: Well for starters....the one behind the mask...is not Madara Uchiha.
Itachi and Sasuke: !?
Sasuke: How can he not be him? Who is it then?
Itachi: How do you know it's not Madara..have you seen his face?
Kabuto: not yet, I'm getting to that. He's next on my kill list after both Sasuke and Naruto are dead. However, the real Madara Uchiha is currently fighting the 5 kages.
Itachi: !
Sasuke: So what of all this?
Kabuto: Let's all take a time out. I think Sasuke needs to hear this.
Itachi charges at Kabuto but Kabuto goes underground and splits everywhere.
Kabuto: Alright, now that I can talk freely...
Itachi:....
Kabuto: It all happened back before the Uchiha massacre.
Scene switches to a flashback
Danzo: Itachi. You know what you must do.
Itachi:....
Danzo: This is for the benefit of the Uchiha. Do not disappoint me.
Itachi: Understood.
Itachi leaves.
Behind Danzo a shadowy figure appears.
???: Are you sure he can go through with the mission.
Danzo: No, that's why a ninja must always have a plan 2. You....do what Itachi must do if he decides to refuse the mission, but do not kill him.
???: As you wish.
Scene switch to a full moon.
Itachi with his gear on near the anbu police.
Itachi: I'll have to take out the police force first.
Itachi:....No...this is wrong. I can find a better way.
As Itachi looks through the window, he sees dead bodies everywhere.
Itachi: What? what is this? I never...
A cut slash from far away.
Itachi; !?
Itachi looks in the distance and a man is shown walking out someones house into another one.
Itachi charges at the man. But he vanishes through the ground.
Itachi: What? how?
Itachi: Could ti be...Danzo...did you hire another assasin...Shit Sasuke! Mother and Father!
As Itachi comes into his house he sees blood.
Itachi: No....MOM, DAD!
Itachi opens the doors to see a masked man standing on them.
Itachi: Mom.....Dad......Damn you! (Activates mangekyou sharingan)
Itachi engages at him but goes right through him.
Itachi: Who are you! Show yourself.
???: If you desire my power, find the organization called Akatsuki and pursue them. I will be there.
The hooded figure looks at Itachi.
Itachi: !? Sha--sharingan?
Tobi: until we meet again, Itachi.
Tobi warps away. As he does, Sasuke walks in the room.
Itachi: !!!
Sasuke: Nii-san...why?
Itachi, set up by the masked man!?
Chapter end.
Spoiler:NARUTO 581 PREDICTION 3Snake eyes
*Kabuto faces the bros*
Kabuto: "Kukuku.. Maybe Sasuke would like to find out what a true liar you really are? Sasuke kun, did you really think - !!"
*Kabuto barely misses his boo-snake taking off his neck!*
Kabuto: "You.. I can't snap him out of it!" *the snake makes another lunge, this time Kabuto seizes it by the jaws*
*sasuke steps forward* "Nows our chance!"
*Itachi stops him with a raised arm* "Wait, brother.."
*Kabuto begins to laugh maniac-ally* "I see you used tsukiyomi to destroy his weak brain beyond repair" (to himself : 'My eye coverings protect me, however')
Kabuto: "These snakes are a dime a dozen!! Graaaahh" *He tears he snakes jaw open, king kong style, murdering it.
Then the connection to his body liquefies and separates*
Kabuto: "Only excess baggage, kuku.., as a sage, i have no - !!"
*Kabuto is frozen in place, he looks at his hands, and they begin to melt/drip with his suigetsu ability*
Kabuto: "Impossible.. this is.. genjutsu!?"
Itachi : "Since the moment I cut you.."
Kabuto thinking: "Genjutsu by touch? That could be possible, but, he used a sword-"
Itachi : "It wasn't physical contact, I pushed my chakra through the blade, and invaded your body."
Sasuke: "!!" *looks at Itachi in awe mixed with envy*
Itachi: (with flashback in background) In fact, your snake never attacked you, you simply were fooled into disposing of it yourself, thereby destroying your one tool to break you out of my genjutsu.."
*flashback shows Kabuto chasing his tail, then tearing it apart as it struggles to escape*
*panel of sasuke's face, smirking*
Sasuke: Well, well, shall we call you Professor Snakes, brother?
(panel of itachi's poker face looking sidelong at his brother)
Itachi: "..."
*Kabuto, dripping, quivering with rage and clenching his teeth* "YOU HAVE MADE A FOOL OF ME!!?"
Itachi: *looking bored* "He's loud... Doctor?" *tosses the sword to Sasuke*
Sasuke: *looking evil as he caches sword* "Gladly.." *sasuke flows lightning through his sword and impales kabuto*
Kabuto: "Graaaaaaghh!" *as he is electrocuted*
Sasuke: "I avoided his vitals"
Itachi to Kabuto as he writhes in pain from inside and out:
"you were so busy collecting the powers of others that you neglected to realize that with each power comes a new weakness. This water mode i forced you to use leaves you vulnerable to sasuke's lightning nature.
You cover your eyes with those snake lids but you were blind from the start if you believed you could come between my brother and I. I pity you, Kabuto, because if you had any family at all to call your own, you would realize.."
*Final page shows the brothers from behind a half-melted and electrified kabuto, standing over him, side by side*
"That blood is thicker than water."
Spoiler:NARUTO 581 PREDICTION 4Naruto 581 : The gap between their eyes!
Chapter starts with Sasuke and Itachi staring at Kabuto.
Itachi: Sasuke, do you remember that time we were playing at the Nakano river?
*flashback*
Itachi: Sasuke, i need you to scare those fishs to the margin, so i can trap them here.
Sasuke: Ok, niisan!
Sasuke proceeds to scare the fishs like a retarded child into Itachi's direction. Itachi looks at him smiling.
end of flashback*
Sasuke: hm. Ok I get it.
Itachi: Ok, lets go.
Each one run to the opposite side of the cave, Sasuke turns and blocks the entrance with Amaterasu, then proceeds to control it to spread a line, limiting the space for Kabuto's mobility.
Kabuto: *!! are they trying to...* This kind of trick wont work on me. If i get caught in amaterasu i can simply get rid of my skin...
Sasuke: Heh, I would worry with another thing if i were you...
Kabuto looks around and cant find Itachi.
Kabuto: ... *wait, wasnt he...? oh.*
Kabuto looks behind him and sees a bunch of crows flying to his direction. Then he turns his face and at the same time Itachi "jumps" eye staring him with a bunch of crows *similar to what he did during his fight with Sasuke*, while in the background we see also crows coming out of Sasuke's body, similar to what he did against danzou.
Kabuto is inside of tsukuyomi. *Huh, Itachi really thinks that he can keep me here, no? I guess he will have a surprise.
Kabuto makes a hand sign.
Kabuto turns smirking: Tsukuyomi wont work on me, Itachi. Did you really think that I would not be prepared for this?
Kabuto gets no response.
Kabuto: ......!!? What is this!!?
Itachi: Looks like my Tsukuyomi wont work on him...
Kabuto falls on his knees.
Itachi: !!?
Sasuke walks to Itachi's side smirking.
Itachi: ?
Sasuke: Nii-san...do you remember what happened that same day that we were fishing at the nakano river?
Itachi looks at Sasuke.
*flashback*
Itachi is picking up the fishs.
Itachi: Now we will have many-
Sasuke: NIISAN! NIISAN! Look!
Sasuke is standing grabbing a big fish between his hands and smirking.
Itachi: !! Good job Sasuke!
*end of flashback*
Itachi: heh...I should have expected this.
Sasuke: My tsukuyomi is different from yours...I cant control time-space inside it, but i can still knock him down.
Itachi: With my eyes, you might be able to use it the same way I did.
Sasuke looks at Itachi surprised.
Sasuke: Well, what should we do with him so?
Itachi grabs Kabuto and makes him stare at him.
Itachi: Im going to discover how to deactivate the Edo tensei, and then control him to finish it. Tsukuyomi!
Side Note: Edo tensei gets deactivated! What will be Kabuto's response!? Next Chapter, Kabuto's Ultimate Form!
Minggu, 25 Maret 2012
chapter 4
Chap : 4
Naruto © Kishimoto Masashi
Warning: AU, OOC, TYPO(S), sinetron banget
Naruto, Hinata: 25 tahun
♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Selamat Membaca ... ^_^
Normal pov
Naruto berdiri di ambang pintu kamar rawat Hinata. Ia mengurungkan niatnya untuk langsung masuk dan menghampiri istrinya. Ia terlihat ragu untuk melangkahkan kakinya, sehingga ia hanya mematung di di ambang pintu yang masih sedikit terbuka.
Yang membuat Naruto lebih canggung untuk maju adalah keberadaan dua orang di dekat Hinata—seorang anak perempuan berumur lima tahunan berambut pirang pucat dan dokter berambut perak yang berdiri membelakangi Naruto.
"Nanti kalau Okaa-chan sudah sembuh, Shion mau tidur sama Okaa-chan…"
Naruto terbelalak mendengar celotehan anak kecil yang duduk di tepi ranjang Hinata. Selama mengenal Hinata, ia belum pernah melihat Hinata mengandung dan melahirkan.
"Shion, ayo pulang," ajak dokter berambut perak dengan kalem.
"Otou-chan pulang sendiri saja. Shion mau sama Okaa-chan. Shion 'kan kangen Okaa-chan…" rengek anak perempuan yang dipanggil Shion tersebut.
Naruto hanya mengernyitkan kening. Ia bingung dan tidak mengerti. Ia butuh penjelasan dari Hinata tentang masalah ini. Bagaimanapun Naruto adalah suami Hinata, ia berhak mengetahui apapun mengenai Hinata.
"Na..Naruto-kun? Sejak kapan di sana? Kenapa tidak langsung masuk?"
Suara Hinata membuat Naruto sedikit tersentak. Setelah menguasai jantungnya yang berdetak tak normal, Naruto membuka pintunya lebih lebar, lalu masuk dan langsung menutup pintunya. Ia menghampiri ranjang Hinata sambil menyunggingkan senyumnya. Kelihatannya Hinata sangat senang melihat kedatangan Naruto sekaligus bonus senyum darinya. Karena itu, senyum tipis Naruto dibalas Hinata dengan senyum yang lebih manis.
Naruto mengalihkan pandangannya ke arah dokter berambut perak dan berkacamata yang menoleh padanya. Naruto membalas senyum dari dokter berumur tiga puluh tahunan tersebut sebelum melihat ke arah Shion. Ia jadi bertanya-tanya di dalam hati setelah melihat wajah Shion. Menurutnya, Shion sangat mirip dengan Hinata. Apalagi potongan rambutnya. Tapi, bisa saja 'kan kalau seorang murid taman kanak-kanak meniru style rambut gurunya?
"Siapa itu, Okaa-chan?" tanya Shion sambil melihat ke Hinata dan mengayunkan kakinya yang menggantung.
Hinata tersenyum manis sambil membelai rambut Shion dengan tangan kanannya yang tidak diperban. Ia melihat sejenak ke arah Naruto yang sudah berdiri di samping kirinya. "Shion boleh memanggilnya Otou-chan…" ucapnya lembut.
Naruto semakin tidak mengerti. Ia hanya mengerutkan alisnya ketika menatap Hinata yang masih membelai Shion.
"Otou-chan Shion cuma satu…" rengek Shion seraya cemberut dan memelototi Naruto.
Naruto mulai berpikir bahwa Shion bukanlah anak berumur lima tahun yang manis.
"Maafkan putri saya, Uzumaki-san."
Naruto melihat ke arah dokter berkacamata yang sedari tadi lebih banyak diam. Ia hanya tersenyum untuk menunjukkan bahwa ia tidak merasa terganggu atas kelakuan Shion.
"Kenalkan, saya Yakushi Kabuto."
Naruto menjabat tangan Kabuto yang terulur padanya. Ia dan Kabuto berdiri pada sisi ranjang yang berbeda, sehingga ia lebih mendekat ke ranjang Hinata agar bisa menjangkau tangan Kabuto.
"Yakushi-san yang menolongku, Naruto-kun…" sahut Hinata.
"Oh. Terima kasih, Yakushi-san," ucap Naruto sedikit kikuk.
Kabuto tersenyum kepada Naruto sebelum melihat Shion dan menepuk pelan puncak kepala putrinya tersebut.
"Shion, ayo pulang." Kabuto mengulangi ajakannya. "Besok sekolah, 'kan… Okaa-chan juga harus banyak istirahat," lanjutnya.
"Tapi kalau nggak ada Okaa-chan, Shion nggak mau sekolah…" rengek Shion.
"Eh? Shion nggak boleh bolos," sahut Hinata sambil menunjukkan wajah tegasnya.
Shion mengerucutkan bibirnya sambil menunjukkan wajah memelasnya. "Kalau Shion sekolah, siapa yang menemani Okaa-chan?"
"Okaa-chan 'kan sudah besar, jadi nggak takut kalau sendiri," canda Hinata. Ia mendapatkan balasan tawa kecil Shion. Hinata menyusul tertawa setelahnya.
Naruto masih diam. Ia mencuri pandang ke arah Kabuto. Ia bisa melihat senyum tipis yang tersungging di bibir Kabuto ketika memandang Hinata dan Shion. Ia merasa iri ketika melihat Hinata yang bisa bicara banyak dan tertawa di depan Shion dan Kabuto. Padahal kalau Hinata bersamanya, bertegur sapa saja sangat jarang. Bicara panjang atau tersenyum juga tidak kalah jarangnya. Apalagi tertawa seperti yang sekarang dilihatnya—mungkin baru kali ini Naruto melihatnya.
Akhirnya Shion mematuhi Kabuto untuk keluar dari kamar rawat Hinata. Sebelum keluar, Shion mendapatkan kecupan lembut dari Hinata di kedua pipinya. Naruto hanya diam karena banyak pertanyaan yang berputar-putar di benaknya. Alisnya kembali bertaut ketika melihat Kabuto meremas lembut jemari tangan kanan Hinata yang terkulai di atas pangkuan Hinata. Jujur, ia tidak senang melihat itu. Apalagi ia melihat kalau Hinata membalas remasan tangan Kabuto, sebelum dokter beranak satu itu melangkahkan kakinya keluar ruangan.
Sekarang di ruang rawat Hinata hanya ada Hinata dan Naruto. Mereka masih diam dan tampak canggung. Suara derit kursi yang diseret Naruto mengusik keheningan di antara mereka. Naruto duduk di samping kiri Hinata dan seolah menunggu Hinata untuk menjelaskan semuanya—yang baru saja disaksikannya dan membuatnya tak mengerti.
"Na..Naruto-kun, aku akan menjelaskan tentang Shion…"
Naruto masih bungkam dan membalas tatapan Hinata yang tidak hanya fokus kepadanya.
"Shion memang putriku, walaupun… bukan aku yang melahirkannya," tambah Hinata sebelum ia menggigit bibir bawahnya. Ia takut kalau Naruto akan marah setelah mendengarnya.
"Bagaimana bisa?" Naruto mengernyitkan keningnya. Ia masih belum mengerti.
"Bayi tabung," jawab Hinata singkat. Ia menundukkan kepalanya karena tidak berani memandang Naruto. Karena tidak ada respon dari Naruto, Hinata meneruskan penjelasannya, "Sahabatku, istri Yakushi-san, divonis menopause dini. Karena itu, dia tidak memiliki sel telur. Lalu, dia memintaku menyumbangkan sel telurku…"
"Kapan?" tanya Naruto dingin.
"Sa..saat masih ku..kuliah," jawab Hinata takut-takut. Ia menggenggam erat jari-jarinya yang gemetaran.
"Kenapa mau?" Suara Naruto masih terdengar rendah dan dingin.
"Ka..karena waktu itu aku kurang pertimbangan. Yang terpikir olehku, hanya sekedar membantu…"
Naruto tahu kalau Hinata adalah tipe orang yang sangat sulit menolak ajakan, permintaan, atau permohonan dari teman-temannya. Intinya, Hinata sering tidak bisa menolak. Ia juga tahu kalau Hinata bukanlah orang yang tegaan. Mungkin dalam kasus ini, Naruto masih bisa maklum. Bukankah yang dilakukan Hinata bisa dikategorikan sebagai perbuatan yang mulia? Naruto mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
"Jadi, bisa dibilang kalau Shion adalah putrimu dan dokter itu." Naruto menyimpulkan. Dadanya terasa sesak saat mengatakannya. Sebenarnya ia tidak rela dan tidak ingin mengakuinya.
"I..iya, tapi 'kan bukan aku yang—"
"Ya, tidak perlu kau jelaskan lagi. Aku sudah mengerti," potong Naruto dengan suara yang lebih lembut.
"Na..Naruto-kun ma..marah?" tanya Hinata sambil mengangkat wajahnya agar bisa melihat ekspresi Naruto.
Naruto malah tersenyum. "Aku tidak punya alasan untuk marah," balasnya lembut. "Oh, iya, mana yang sakit?" Raut wajah Naruto berubah khawatir.
Hinata menunjuk siku tangan kirinya. "Aku terjatuh dari motor saat keluar dari gerbang sekolah." Sekolah yang dimaksud Hinata adalah sebuah akademi yang terdiri dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah. Sejak lulus kuliah, Hinata sudah menjadi guru taman kanak-kanak di sana.
"Apa parah?" Naruto memperhatikan gibs yang ada di tangan kiri Hinata.
"Hanya patah tulang di bagian siku dan sedikit shock."
"Hanya?" Naruto menaikkan satu alisnya karena mendengar nada santai Hinata. "Kau ini…" desisnya. Ia bangkit dari kursi, kemudian menduduki tepi ranjang Hinata dan menatap mata Hinata dalam diam.
Hinata yang merasa jarak wajahnya sangat dekat dengan wajah Naruto, sedikit menahan nafas dan menelan ludah. Jantungnya berpacu sangat cepat. Walaupun setiap hari bertemu Naruto, berhadapan sedekat itu dengan Naruto bisa dihitung jari—atau mungkin sebelumnya tidak pernah.
Saat menikah pun keluarga mereka memilih cara tradisional, yang menurut ayah Hinata tidak boleh menggunakan budaya berciuman setelah resmi menjadi suami istri. Kata ayah Hinata, boleh melakukannya jika memang hanya berdua. Sampai sekarang, Hinata memaklumi ayahnya yang sangat memegang teguh budaya tradisionalnya. Kalau Naruto, waktu itu ia malah merasa tenang.
Naruto meletakkan tangan kirinya di pundak kanan Hinata. Ia meremasnya lembut seiring wajahnya yang semakin mendekati wajah Hinata. Ia sedikit memiringkan wajahnya dan menutup matanya, ketika ia merasa sudah berada di jalur yang tepat untuk meraih tujuannya.
Hinata ikut memejamkan mata dalam kegugupannya. Ia merasa debar jantungnya bisa menulikan telinganya sendiri. Ia bisa merasakan pipinya yang memanas. Tidak lama kemudian, ia sudah merasakan ada sesuatu yang menempel lembut di bibirnya.
Hinata pun terhanyut dalam keajaiban ciuman pertama. Hinata's first kiss…
"Tiba-tiba aku merasa sangat merindukanmu."
Suara Naruto bisa didengar oleh Hinata ketika bibirnya terasa ringan. Hinata memberanikan dirinya untuk membuka mata agar bisa melihat Naruto.
"Dan… menginginkanmu," bisik Naruto seraya tersenyum pada Hinata.
Belum sempat Hinata membuka mata sepenuhnya, Naruto sudah kembali menguasai bibirnya. Akhirnya ia kembali memejamkan matanya—lebih rapat daripada sebelumnya.
Hinata bisa merasakan tangan Naruto yang bergerak ke bagian belakang kepalanya untuk memperdalam ciuman. Tangan Naruto yang semula berada di pundak kanan Hinata, kini mulai bergerak semakin turun. Sampai…
Mereka terpaksa menghentikan kegiatan mereka ketika perut Naruto berkoar-koar minta diisi. Setelah sedikit menjauhkan diri, Naruto hanya nyengir tanpa dosa dan menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.
Hinata hanya tertawa kecil dengan wajah memerah. Ia masih deg-degan dan terkejut dengan apa yang baru saja dialaminya. Bahkan ia merasa tubuhnya gemetaran karena baru kali ini melakukannya.
"Be..belum makan?" tanya Hinata malu-malu.
"Belum," jawab Naruto santai dengan wajah innocent. Kemudian, ia mengeluarkan senyum lebarnya, seolah tidak memiliki beban dan sebelumnya tidak pernah terjadi apa-apa.
"Naruto-kun makan dulu saja." Hinata memaksa dirinya untuk tidak menunduk.
"Kamu sudah makan, Hina-chan?"
Hinata tampak sumringah mendengar perubahan Naruto dalam memanggil namanya. Ia tersenyum senang, lalu menjawab, "Sudah."
"Kalau begitu, aku beli makan dulu. Lalu, aku akan membawanya ke sini."
Hinata mengangguk semangat tanpa memudarkan senyumnya. Ia merasa sangat senang. Sepertinya ia sudah merasakan hikmah dari musibah—jatuh dari motor—yang menimpanya. Mungkin ini merupakan awal yang baik untuknya dan Naruto…
#~**~#
chapter 3
Chap : 3
Disclaimer:
Naruto © Kishimoto Masashi
Warning: AU, OOC, TYPO(S), sinetron banget
Naruto, Hinata: 25 tahun
♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Selamat Membaca ... ^_^
"Oke! Kita putus!"
Naruto masih mengatur nafasnya yang sedikit memburu. Cengkeramannya pada ponsel tampak semakin mengerat. Ia mengambil jas dan tas kerja yang semula terjatuh di depan kakinya. Kemudian, ia masuk ke kamarnya dan melemparkan ponselnya ke atas ranjang.
Ternyata yang ditakutkan Naruto menjadi kenyataan. Tetapi ia sudah menduga kalau ini akan segera terjadi, yaitu putusnya hubungan antara dirinya dengan kekasihnya. Karena itu, Naruto jadi tidak menyesal dengan keputusannya sendiri. Bukankah ia sudah memutuskan untuk menjadi suami yang sesungguhnya untuk istrinya? Jadi, tidak ada gunanya jika ia tetap mempertahankan hubungannya dengan kekasihnya.
Naruto meletakkan tasnya di atas meja kerjanya. Ia melepaskan dasinya sebelum masuk ke kamar mandi. Lalu, jas dan dasinya ia masukkan begitu saja ke keranjang pakaian kotornya.
Rasanya Naruto ingin segera berendam di bak mandinya. Mungkin air hangat dapat sedikit membantu untuk menenangkan pikirannya. Sepertinya kali ini ia perlu berendam lebih lama dari biasanya.
.
.
.
Naruto's point of view
Segarnya… Aku merasa lebih tenang setelah mandi. Entah mengapa aku tidak ingin memikirkan lagi masalahku dengan kekasih—err… mantan kekasihku. Aku tidak ingin suasana hatiku menjadi buruk dan akhirnya berimbas kepada Hinata.
Ngomong-ngomong soal Hinata… Apa Hinata sudah pulang? Sepertinya aku tidak mendengar ada orang lain yang masuk ke dalam rumah. Suara motor Hinata juga tidak kedengaran. Aku melihat jam dinding di kamarku. Pukul tujuh. Pantas saja aku lapar karena sudah waktunya makan malam. Biasanya kalau aku pulang jam segini, Hinata sudah berada di dapur dan menyiapkan makan malam.
Aku berjalan ke dapur. Keadaannya masih sama seperti saat aku baru pulang tadi. Sekarang aku melangkahkan kakiku ke kamar Hinata. Aku langsung membuka pintu yang tidak terkunci itu. Gelap. Sepertinya Hinata belum pulang.
Aku duduk di sofa ruang tamu. Sambil menunggu Hinata, aku mencoba untuk menghubungi mantan kekasihku. Menurutku, ada yang aneh dengannya. Selama ini, dia tidak pernah mempermasalahkan keadaan ekonomiku. Biasanya dia malah selalu mendukungku. Belakangan ini, dia seolah menghindariku dan mencoba untuk membuatku membencinya. Sebenarnya ada apa dengannya?
Jika memang harus memutuskan hubungan sebagai kekasih, maka aku tidak mau kalau kami juga putus sebagai teman. Bukankah dulu hubunganku dengannya berawal dari berteman? Sesuatu yang dimulai dengan baik-baik, tidak seharusnya diakhiri dengan cara yang tidak baik. Aku tidak mau memiliki musuh, apalagi seseorang yang pernah mendominasi hatiku…
Tidak kusangka dia mau menjawab teleponku…
"Ada apa, Naruto?"
Suaranya terdengar berat. Aku hafal suaranya yang seperti ini. Dia… menangis?
"Kenapa menangis?" tanyaku datar.
Dia tidak menjawab. Aku masih bisa mendengar isaknya yang sepertinya ingin dia sembunyikan dariku. Mungkin dia masih butuh waktu untuk bicara denganku.
"Maaf, Naruto. Aku tidak bermaksud untuk bicara seperti tadi kepadamu. Aku…"
Dia berbicara dengan susah payah di tengah isak tangisnya. Aku bersabar untuk menunggu apa yang akan dikatakannya. Lama aku menunggu, tapi dia belum juga mengeluarkan suaranya lagi. Yang terdengar masih isak tangis.
Sepertinya aku tahu penyebab tangisannya…
"Akhir-akhir ini, kau… mencoba segala cara agar bisa berpisah denganku, 'kan?" tanyaku ragu.
Kudengar isakannya semakin keras. Sepertinya tangisannya semakin menjadi. Berarti dugaanku benar.
"Yang kau katakan memang benar. Tapi, aku punya alasan untuk berpisah denganmu."
"Alasan? Kau sudah menemukan pria yang lebih pantas untukmu?"
"Bukan seperti itu, Naruto…"
"Lalu?" Aku mulai tidak sabar.
"Aku juga wanita, Naruto. Sama seperti istrimu. Aku pasti akan sangat sedih jika suamiku menduakanku. Aku membayangkan diriku yang berada di posisi istrimu. Aku tidak mau kalau nantinya aku mendapatkan karma ketika aku menjadi seorang istri…"
Hukum karma. Hukum aksi reaksi. Hukum sebab akibat. Sesungguhnya perbuatan dan hasilnya tidak bisa dipisahkan, bagaikan dua sisi mata uang. Selama aku berhubungan dengan kekasihku, aku tidak pernah memikirkan perasaan Hinata yang menjadi istriku. Mungkin pernah, tapi sangat jarang. Apa aku akan mendapatkan hukum karma atas perbuatanku terhadap Hinata? Kenapa aku merasa sangat takut ketika memikirkannya?
"Pikirkan jika ibumu yang berada di posisi istrimu. Apa sebagai anaknya kau akan terima?"
Tentu saja aku tidak terima. Mungkin aku akan membenci ayahku.
Hinata…
"Kau masih mau menjadi temanku 'kan, Naruto?"
"Tentu saja. Eh, aku tutup dulu…"
Tanpa menunggu jawaban darinya aku langsung menekan tombol merah di ponselku. Aku meletakkan ponselku begitu saja di sampingku.
Hinata…
Aku menyandarkan kepalaku di bantalan sofa. Aku menengadah sambil memandangi cicak yang merayap di atap. Sekarang cicak itu hanya sendiri, sama sepertiku…
Sendirian di rumah memang tidak enak…
Biasanya kalau seperti ini aku langsung menelepon kekasihku dan bicara sampai berjam-jam. Entah itu penting atau tidak penting. Sepertinya lebih banyak tidak pentingnya. Walaupun begitu, biasanya aku tetap senang berlama-lama bicara dengannya. Tapi, kenapa aku tadi malah menutup teleponnya?
Hinata…
Kenapa sekarang kepalaku dipenuhi oleh Hinata? Kenapa ada wanita seperti dia? Kenapa Hinata bisa begitu sabar menghadapiku?
Selama ini, Hinata tidak pernah protes jika aku pulang lebih malam karena aku menemui kekasihku sepulang kerja. Hinata hanya diam dan menyambutku dengan senyumannya. Sesekali dia juga menanyakan keadaanku atau pekerjaanku. Dia hanya diam jika aku tidak membalas pertanyaannya, lalu pergi ke kamar mandi untuk menyiapkan air hangat untukku.
Hinata belum tidur sebelum aku pulang karena dia ingin memanaskan makan malam yang sudah dingin. Tapi, terkadang aku malah membiarkan makanan itu tidak tersentuh karena sebelumnya aku sudah makan bersama kekasihku…
Kenapa bentuk cicaknya menjadi tidak jelas? Kenapa pandanganku menjadi buram? Apa lampu di ruang tamuku sudah rusak?
Cih! Kenapa air mataku menetes? Apa aku menangis? Aku 'kan pria…
Memangnya pria tidak boleh menangis? Seorang pria juga manusia…
Hinata…
Kenapa aku jadi begitu merindukanmu?
Cepatlah pulang, Hinata…
Jika aku tahu keberadaanmu saat ini, maka aku akan langsung menjemputmu…
Aku ingin bertemu dan meminta maaf padamu, istriku…
Tiba-tiba aku mendengar suara perutku yang keroncongan. Aku kelaparan…
Sebenarnya Hinata kemana, sih? Mengajar di taman kanak-kanak tidak sampai semalam ini, 'kan?
Apa dia lupa kalau masih punya suami di rumah dan harus dia urus? Jangan-jangan Hinata selingkuh? Mungkin sekarang dia sedang bersama kekasihnya? Awas saja kalau dia berani menduakanku!
Aku merasakan getaran ponselku. Aku mengambilnya dan dengan cepat aku menjawabnya ketika membaca siapa yang meneleponku.
"Kau dimana?" tanyaku tidak sabaran.
"Ma..maaf, Naruto-kun. A..aku belum bisa pulang…"
Belum bisa pulang katanya? Jangan-jangan dia mau menginap di rumah kekasihnya? Tidak akan kubiarkan!
"Kau harus pulang!"
"Ta..tapi, aku masih di rumah sakit…"
"Di rumah sakit?" Seketika aku berdiri dari dudukku. "Kau kenapa?" Entah mengapa aku jadi mengkhawatirkannya.
"Ta..tadi aku mengalami kecelakaan kecil…"
"Kecelakaan? Sudah kubilang, kau harus hati-hati saat mengendarai sepeda motor…"
"I..iya, ma..maaf…"
Kenapa minta maaf padaku?
"Sekarang kau di rumah sakit mana?"
.
.
.
Aku berlari di koridor rumah sakit menuju kamar rawat Hinata. Aku tidak peduli dengan pandangan orang-orang di sekitarku yang kelihatannya tidak senang dengan ulahku. Aku juga tidak peduli kalau mereka marah, yang penting aku bisa segera melihat keadaan Hinata.
Hinata bilang, dia hanya mengalami kecelakaan kecil. Tapi, aku tetap saja merasa khawatir…
Sekali lagi lariku terhenti. Ah! Lagi-lagi sandalku lepas. Kenapa aku tadi memakai sandal rumahku, sih? Bodohnya aku…
Kenapa semakin lama aku merasa kedinginan, ya? Aduh… ini 'kan masih musim dingin. Aku malah hanya memakai kaos hitam lengan pendek dan celana jeans rumahan. Selain lupa memakai sepatu, aku juga lupa memakai jaket atau mantelku. Tapi, orang lupa tidak bisa disalahkan…
Akhirnya aku sampai di depan kamar rawat Hinata. Sebelum masuk, aku mengatur nafasku yang terengah. Kenapa aku merasa deg-degan, ya? Hanya memikirkan akan bertemu Hinata sudah membuat jantungku berdebar-debar seperti ini. Hah? Kau memang bodoh, Naruto! Jantungmu berdetak lebih cepat karena kau baru saja lari dari tempat parkir sampai sini! Baka! Ahou! Kenapa semakin lama aku merasa semakin bodoh, ya?
Setelah nafasku normal kembali, aku memutar kenop pintu dan mendorong pintunya dengan perlahan. Anehnya, jantungku malah berdetak semakin cepat. Senyumku mengembang ketika melihat Hinata yang sedang tersenyum di atas ranjangnya. Tapi, sepertinya senyum itu bukan untukku. Seketika senyumku memudar…
Sepertinya Hinata belum menyadari kehadiranku. Selain Hinata, ada seorang pria berambut perak—yang sepertinya adalah dokter—berdiri di dekat ranjang dan juga seorang anak kecil yang duduk di tepi ranjang Hinata. Sepertinya anak kecil berambut pirang pucat itu masih berumur lima tahunan. Anak kecil itu kelihatan senang bersama Hinata.
Aku masih berdiri di ambang pintu yang sedikit kubuka. Rasanya canggung sekali jika aku tiba-tiba mendatangi Hinata. Kenapa aku jadi merasa kalau ada semacam tembok tebal yang menghalangiku untuk mendekatinya? Mereka bertiga terlihat begitu akrab. Bukan mereka bertiga, karena kulihat dokter itu lebih banyak diam. Tapi, anak kecil itu…
Kenapa anak kecil itu terlihat begitu akrab dengan Hinata? Hinata juga terlihat sabar menanggapi celotehan anak kecil itu. Ah! Hinata 'kan guru taman kanak-kanak, pasti sudah terbiasa dengan anak kecil. Apa anak kecil itu salah satu murid Hinata? Kalau iya, kenapa sudah malam masih diizinkan menemani Hinata?
Kenapa aku seolah cemburu kepada anak perempuan itu?
"Nanti kalau Okaa-chan sudah sembuh, Shion mau tidur sama Okaa-chan…"
Okaa-chan? Siapa yang dipanggil Okaa-chan oleh anak kecil itu? Di sana hanya ada satu perempuan dewasa, yaitu Hinata. Apa Hinata…
"Shion, ayo pulang."
"Otou-chan pulang sendiri saja. Shion mau sama Okaa-chan. Shion 'kan kangen Okaa-chan…"
Rengekan anak perempuan itu serasa berubah menjadi tombak yang menusuk tepat di jantungku. Otou-chan katanya? Jadi, anak perempuan itu adalah putri dokter yang masih terlihat muda itu? Lalu, kenapa dia memanggil Hinata dengan…
"Na..Naruto-kun? Sejak kapan di sana? Kenapa tidak langsung masuk?"
Suara Hinata mengacaukan pertanyaan-pertanyaan yang ada di benakku. Tanpa menjawab pertanyaannya, aku masuk dan langsung menutup pintunya. Aku berjalan pelan ke arahnya. Aku mencoba tersenyum kepada Hinata, dan dia membalasnya dengan senyum yang lebih manis.
Dokter dan anaknya juga ikut melihat ke arahku. Kulihat, dokter berkacamata itu memang tampak masih muda. Mungkin berumur tiga puluh tahunan. Dan… anak perempuan itu… terlihat mirip dengan Hinata…
Hah? Kenapa putri dokter itu mirip Hinata? Kenapa dia memanggil Hinata dengan Okaa-chan? Apa dokter itu memiliki hubungan khusus dengan Hinata? Apa dia anak Hinata dengan dokter itu? Tidak mungkin !!
.
#~**~#
==>_| ~To Be Continued~o Be Continued~
Disclaimer:
Naruto © Kishimoto Masashi
Warning: AU, OOC, TYPO(S), sinetron banget
Naruto, Hinata: 25 tahun
♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Selamat Membaca ... ^_^
"Oke! Kita putus!"
Naruto masih mengatur nafasnya yang sedikit memburu. Cengkeramannya pada ponsel tampak semakin mengerat. Ia mengambil jas dan tas kerja yang semula terjatuh di depan kakinya. Kemudian, ia masuk ke kamarnya dan melemparkan ponselnya ke atas ranjang.
Ternyata yang ditakutkan Naruto menjadi kenyataan. Tetapi ia sudah menduga kalau ini akan segera terjadi, yaitu putusnya hubungan antara dirinya dengan kekasihnya. Karena itu, Naruto jadi tidak menyesal dengan keputusannya sendiri. Bukankah ia sudah memutuskan untuk menjadi suami yang sesungguhnya untuk istrinya? Jadi, tidak ada gunanya jika ia tetap mempertahankan hubungannya dengan kekasihnya.
Naruto meletakkan tasnya di atas meja kerjanya. Ia melepaskan dasinya sebelum masuk ke kamar mandi. Lalu, jas dan dasinya ia masukkan begitu saja ke keranjang pakaian kotornya.
Rasanya Naruto ingin segera berendam di bak mandinya. Mungkin air hangat dapat sedikit membantu untuk menenangkan pikirannya. Sepertinya kali ini ia perlu berendam lebih lama dari biasanya.
.
.
.
Naruto's point of view
Segarnya… Aku merasa lebih tenang setelah mandi. Entah mengapa aku tidak ingin memikirkan lagi masalahku dengan kekasih—err… mantan kekasihku. Aku tidak ingin suasana hatiku menjadi buruk dan akhirnya berimbas kepada Hinata.
Ngomong-ngomong soal Hinata… Apa Hinata sudah pulang? Sepertinya aku tidak mendengar ada orang lain yang masuk ke dalam rumah. Suara motor Hinata juga tidak kedengaran. Aku melihat jam dinding di kamarku. Pukul tujuh. Pantas saja aku lapar karena sudah waktunya makan malam. Biasanya kalau aku pulang jam segini, Hinata sudah berada di dapur dan menyiapkan makan malam.
Aku berjalan ke dapur. Keadaannya masih sama seperti saat aku baru pulang tadi. Sekarang aku melangkahkan kakiku ke kamar Hinata. Aku langsung membuka pintu yang tidak terkunci itu. Gelap. Sepertinya Hinata belum pulang.
Aku duduk di sofa ruang tamu. Sambil menunggu Hinata, aku mencoba untuk menghubungi mantan kekasihku. Menurutku, ada yang aneh dengannya. Selama ini, dia tidak pernah mempermasalahkan keadaan ekonomiku. Biasanya dia malah selalu mendukungku. Belakangan ini, dia seolah menghindariku dan mencoba untuk membuatku membencinya. Sebenarnya ada apa dengannya?
Jika memang harus memutuskan hubungan sebagai kekasih, maka aku tidak mau kalau kami juga putus sebagai teman. Bukankah dulu hubunganku dengannya berawal dari berteman? Sesuatu yang dimulai dengan baik-baik, tidak seharusnya diakhiri dengan cara yang tidak baik. Aku tidak mau memiliki musuh, apalagi seseorang yang pernah mendominasi hatiku…
Tidak kusangka dia mau menjawab teleponku…
"Ada apa, Naruto?"
Suaranya terdengar berat. Aku hafal suaranya yang seperti ini. Dia… menangis?
"Kenapa menangis?" tanyaku datar.
Dia tidak menjawab. Aku masih bisa mendengar isaknya yang sepertinya ingin dia sembunyikan dariku. Mungkin dia masih butuh waktu untuk bicara denganku.
"Maaf, Naruto. Aku tidak bermaksud untuk bicara seperti tadi kepadamu. Aku…"
Dia berbicara dengan susah payah di tengah isak tangisnya. Aku bersabar untuk menunggu apa yang akan dikatakannya. Lama aku menunggu, tapi dia belum juga mengeluarkan suaranya lagi. Yang terdengar masih isak tangis.
Sepertinya aku tahu penyebab tangisannya…
"Akhir-akhir ini, kau… mencoba segala cara agar bisa berpisah denganku, 'kan?" tanyaku ragu.
Kudengar isakannya semakin keras. Sepertinya tangisannya semakin menjadi. Berarti dugaanku benar.
"Yang kau katakan memang benar. Tapi, aku punya alasan untuk berpisah denganmu."
"Alasan? Kau sudah menemukan pria yang lebih pantas untukmu?"
"Bukan seperti itu, Naruto…"
"Lalu?" Aku mulai tidak sabar.
"Aku juga wanita, Naruto. Sama seperti istrimu. Aku pasti akan sangat sedih jika suamiku menduakanku. Aku membayangkan diriku yang berada di posisi istrimu. Aku tidak mau kalau nantinya aku mendapatkan karma ketika aku menjadi seorang istri…"
Hukum karma. Hukum aksi reaksi. Hukum sebab akibat. Sesungguhnya perbuatan dan hasilnya tidak bisa dipisahkan, bagaikan dua sisi mata uang. Selama aku berhubungan dengan kekasihku, aku tidak pernah memikirkan perasaan Hinata yang menjadi istriku. Mungkin pernah, tapi sangat jarang. Apa aku akan mendapatkan hukum karma atas perbuatanku terhadap Hinata? Kenapa aku merasa sangat takut ketika memikirkannya?
"Pikirkan jika ibumu yang berada di posisi istrimu. Apa sebagai anaknya kau akan terima?"
Tentu saja aku tidak terima. Mungkin aku akan membenci ayahku.
Hinata…
"Kau masih mau menjadi temanku 'kan, Naruto?"
"Tentu saja. Eh, aku tutup dulu…"
Tanpa menunggu jawaban darinya aku langsung menekan tombol merah di ponselku. Aku meletakkan ponselku begitu saja di sampingku.
Hinata…
Aku menyandarkan kepalaku di bantalan sofa. Aku menengadah sambil memandangi cicak yang merayap di atap. Sekarang cicak itu hanya sendiri, sama sepertiku…
Sendirian di rumah memang tidak enak…
Biasanya kalau seperti ini aku langsung menelepon kekasihku dan bicara sampai berjam-jam. Entah itu penting atau tidak penting. Sepertinya lebih banyak tidak pentingnya. Walaupun begitu, biasanya aku tetap senang berlama-lama bicara dengannya. Tapi, kenapa aku tadi malah menutup teleponnya?
Hinata…
Kenapa sekarang kepalaku dipenuhi oleh Hinata? Kenapa ada wanita seperti dia? Kenapa Hinata bisa begitu sabar menghadapiku?
Selama ini, Hinata tidak pernah protes jika aku pulang lebih malam karena aku menemui kekasihku sepulang kerja. Hinata hanya diam dan menyambutku dengan senyumannya. Sesekali dia juga menanyakan keadaanku atau pekerjaanku. Dia hanya diam jika aku tidak membalas pertanyaannya, lalu pergi ke kamar mandi untuk menyiapkan air hangat untukku.
Hinata belum tidur sebelum aku pulang karena dia ingin memanaskan makan malam yang sudah dingin. Tapi, terkadang aku malah membiarkan makanan itu tidak tersentuh karena sebelumnya aku sudah makan bersama kekasihku…
Kenapa bentuk cicaknya menjadi tidak jelas? Kenapa pandanganku menjadi buram? Apa lampu di ruang tamuku sudah rusak?
Cih! Kenapa air mataku menetes? Apa aku menangis? Aku 'kan pria…
Memangnya pria tidak boleh menangis? Seorang pria juga manusia…
Hinata…
Kenapa aku jadi begitu merindukanmu?
Cepatlah pulang, Hinata…
Jika aku tahu keberadaanmu saat ini, maka aku akan langsung menjemputmu…
Aku ingin bertemu dan meminta maaf padamu, istriku…
Tiba-tiba aku mendengar suara perutku yang keroncongan. Aku kelaparan…
Sebenarnya Hinata kemana, sih? Mengajar di taman kanak-kanak tidak sampai semalam ini, 'kan?
Apa dia lupa kalau masih punya suami di rumah dan harus dia urus? Jangan-jangan Hinata selingkuh? Mungkin sekarang dia sedang bersama kekasihnya? Awas saja kalau dia berani menduakanku!
Aku merasakan getaran ponselku. Aku mengambilnya dan dengan cepat aku menjawabnya ketika membaca siapa yang meneleponku.
"Kau dimana?" tanyaku tidak sabaran.
"Ma..maaf, Naruto-kun. A..aku belum bisa pulang…"
Belum bisa pulang katanya? Jangan-jangan dia mau menginap di rumah kekasihnya? Tidak akan kubiarkan!
"Kau harus pulang!"
"Ta..tapi, aku masih di rumah sakit…"
"Di rumah sakit?" Seketika aku berdiri dari dudukku. "Kau kenapa?" Entah mengapa aku jadi mengkhawatirkannya.
"Ta..tadi aku mengalami kecelakaan kecil…"
"Kecelakaan? Sudah kubilang, kau harus hati-hati saat mengendarai sepeda motor…"
"I..iya, ma..maaf…"
Kenapa minta maaf padaku?
"Sekarang kau di rumah sakit mana?"
.
.
.
Aku berlari di koridor rumah sakit menuju kamar rawat Hinata. Aku tidak peduli dengan pandangan orang-orang di sekitarku yang kelihatannya tidak senang dengan ulahku. Aku juga tidak peduli kalau mereka marah, yang penting aku bisa segera melihat keadaan Hinata.
Hinata bilang, dia hanya mengalami kecelakaan kecil. Tapi, aku tetap saja merasa khawatir…
Sekali lagi lariku terhenti. Ah! Lagi-lagi sandalku lepas. Kenapa aku tadi memakai sandal rumahku, sih? Bodohnya aku…
Kenapa semakin lama aku merasa kedinginan, ya? Aduh… ini 'kan masih musim dingin. Aku malah hanya memakai kaos hitam lengan pendek dan celana jeans rumahan. Selain lupa memakai sepatu, aku juga lupa memakai jaket atau mantelku. Tapi, orang lupa tidak bisa disalahkan…
Akhirnya aku sampai di depan kamar rawat Hinata. Sebelum masuk, aku mengatur nafasku yang terengah. Kenapa aku merasa deg-degan, ya? Hanya memikirkan akan bertemu Hinata sudah membuat jantungku berdebar-debar seperti ini. Hah? Kau memang bodoh, Naruto! Jantungmu berdetak lebih cepat karena kau baru saja lari dari tempat parkir sampai sini! Baka! Ahou! Kenapa semakin lama aku merasa semakin bodoh, ya?
Setelah nafasku normal kembali, aku memutar kenop pintu dan mendorong pintunya dengan perlahan. Anehnya, jantungku malah berdetak semakin cepat. Senyumku mengembang ketika melihat Hinata yang sedang tersenyum di atas ranjangnya. Tapi, sepertinya senyum itu bukan untukku. Seketika senyumku memudar…
Sepertinya Hinata belum menyadari kehadiranku. Selain Hinata, ada seorang pria berambut perak—yang sepertinya adalah dokter—berdiri di dekat ranjang dan juga seorang anak kecil yang duduk di tepi ranjang Hinata. Sepertinya anak kecil berambut pirang pucat itu masih berumur lima tahunan. Anak kecil itu kelihatan senang bersama Hinata.
Aku masih berdiri di ambang pintu yang sedikit kubuka. Rasanya canggung sekali jika aku tiba-tiba mendatangi Hinata. Kenapa aku jadi merasa kalau ada semacam tembok tebal yang menghalangiku untuk mendekatinya? Mereka bertiga terlihat begitu akrab. Bukan mereka bertiga, karena kulihat dokter itu lebih banyak diam. Tapi, anak kecil itu…
Kenapa anak kecil itu terlihat begitu akrab dengan Hinata? Hinata juga terlihat sabar menanggapi celotehan anak kecil itu. Ah! Hinata 'kan guru taman kanak-kanak, pasti sudah terbiasa dengan anak kecil. Apa anak kecil itu salah satu murid Hinata? Kalau iya, kenapa sudah malam masih diizinkan menemani Hinata?
Kenapa aku seolah cemburu kepada anak perempuan itu?
"Nanti kalau Okaa-chan sudah sembuh, Shion mau tidur sama Okaa-chan…"
Okaa-chan? Siapa yang dipanggil Okaa-chan oleh anak kecil itu? Di sana hanya ada satu perempuan dewasa, yaitu Hinata. Apa Hinata…
"Shion, ayo pulang."
"Otou-chan pulang sendiri saja. Shion mau sama Okaa-chan. Shion 'kan kangen Okaa-chan…"
Rengekan anak perempuan itu serasa berubah menjadi tombak yang menusuk tepat di jantungku. Otou-chan katanya? Jadi, anak perempuan itu adalah putri dokter yang masih terlihat muda itu? Lalu, kenapa dia memanggil Hinata dengan…
"Na..Naruto-kun? Sejak kapan di sana? Kenapa tidak langsung masuk?"
Suara Hinata mengacaukan pertanyaan-pertanyaan yang ada di benakku. Tanpa menjawab pertanyaannya, aku masuk dan langsung menutup pintunya. Aku berjalan pelan ke arahnya. Aku mencoba tersenyum kepada Hinata, dan dia membalasnya dengan senyum yang lebih manis.
Dokter dan anaknya juga ikut melihat ke arahku. Kulihat, dokter berkacamata itu memang tampak masih muda. Mungkin berumur tiga puluh tahunan. Dan… anak perempuan itu… terlihat mirip dengan Hinata…
Hah? Kenapa putri dokter itu mirip Hinata? Kenapa dia memanggil Hinata dengan Okaa-chan? Apa dokter itu memiliki hubungan khusus dengan Hinata? Apa dia anak Hinata dengan dokter itu? Tidak mungkin !!
.
#~**~#
==>_| ~To Be Continued~o Be Continued~
chapter 2
Chap : 2
Disclaimer:
Naruto © Kishimoto Masashi
Warning: AU, OOC, TYPO(S), sinetron banget
Naruto, Hinata: 25 tahun
♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Naruto's point of view
Aku duduk di sini. Seperti biasa, saat makan aku duduk di kursi yang berseberangan dengan Hinata. Sejak aku membentaknya semalam, dia selalu kelihatan sedih. Dia pasti menangis semalaman. Walaupun aku tidak sekamar dengannya, tapi aku pernah memergokinya menangis sendirian di kamarnya. Apa aku hanya bisa membuatnya bersedih dan menangis? Kalau seperti itu, kenapa dia selalu bersikeras untuk mempertahankan pernikahan ini?
Sejak semalam, aku belum bicara sepatah katapun, begitupun dengannya. Dia juga selalu menunduk jika di depanku. Apa dia takut padaku?
Aku masih memperhatikannya yang terlihat tidak menikmati sarapannya. Aku menjadi tidak nafsu makan. Bukan karena makanannya tidak enak—masakan Hinata enak, sangat enak malah—tapi karena aku merasa bersalah pada Hinata, aku jadi tidak bisa merasakan enaknya.
Jujur, aku sangat menyesal. Semalam aku benar-benar lelah dan sedang tidak bisa mengontrol emosiku. Kemarahanku kemarin sebenarnya bukan karena Hinata. Aku hanya suntuk karena memikirkan hubunganku dan kekasihku yang belakangan ini menjadi renggang. Hinata yang tidak bersalah malah menjadi pelampiasanku…
Aku ingin meminta maaf pada Hinata. Tapi, kenapa rasanya sangat sulit untuk mengucapkannya? Bahkan, aku belum sanggup untuk mengeluarkan suaraku.
Aku berdehem sekali untuk melegakan tenggorokanku yang terasa tersumbat. Aku meraih gelasku yang berisi air mineral untuk turut membantu mendorong nasi yang sedari tadi sulit untuk kutelan.
"Hi..Hinata." Akhirnya aku bisa mengeluarkan suaraku.
"Y..ya?"
Pelan sekali suaranya. Apa dia takut mengeluarkan suaranya? Apa aku begitu menyeramkan? Kenapa dia belum berani untuk mengangkat wajahnya dan menatap mataku?
"Maaf," ucapku tulus.
Akhirnya Hinata tidak menunduk lagi dan… tersenyum padaku. Kami-sama… apa hanya mendengar kata maaf dariku sudah bisa membuatnya senang? Bagaimana jika aku melakukan lebih? Bagaimana jika aku tersenyum padanya? Sepertinya sejak aku menikahinya, aku belum pernah memberikan senyumku padanya.
Aku mencoba menarik sudut-sudut bibirku dan aku bisa melihat Hinata yang tersenyum lebih lebar dari sebelumnya. Entah kenapa aku jadi merasa lega saat melihatnya.
Tapi, kenapa aku jadi memikirkan perasaannya?
"Oh iya, mulai hari ini aku mengajar lagi."
"Hm, hati-hati saat mengendarai motor."
Hinata terlihat senang saat aku memberikan sedikit perhatian untuknya.
Senyumnya membuatku semakin merasa bersalah…
.
.
.
Normal pov
Hinata mengendarai skuter matic putihnya dengan wajah berseri-seri di balik helm. Ia merasa sangat senang karena Naruto akhirnya mau berbicara padanya. Hanya diajak bicara oleh Naruto, tetapi sudah bisa membuat Hinata merasa melayang hingga menembus awan. Berlebihan? Memang iya, tapi itulah Hinata. Ia bahagia karena Naruto tidak lagi mendiamkannya saat sarapan, memberikannya sedikit perhatian, dan yang paling membahagiakan… Naruto menunjukkan senyumnya.
Hinata percaya, bahwa segala sesuatu akan indah pada waktunya…
.
.
.
Naruto dan teman-teman sekantornya sedang menikmati makan siangnya di kafetaria. Naruto dan teman-temannya sejak sekolah menengah itu memang kompak, dari tempat kerja sampai divisi tempat mereka mengabdi. Mereka yang bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang makanan itu, sama-sama bertanggung jawab kepada manajer pemasaran.
"Aku salut pada istrimu, Naruto. Dia bersabar hidup denganmu yang menduakannya…" celetuk temannya yang berambut coklat jabrik secara tiba-tiba.
"Dia yang rela diduakan, Kiba," balas Naruto dengan nada suara yang terdengar sangat tenang.
"Kalau orang tuamu tahu bagaimana? Apalagi kalau mertuamu tahu kalau anak perempuan satu-satunya kau aniaya…" tambah si rambut coklat yang bernama lengkap Inuzuka Kiba.
"Memangnya siapa yang menganiaya? Aku bukan seorang suami yang suka melakukan kekerasan dalam rumah tangga…" Naruto tampak tidak terima.
"Iya, kau memang tidak menyakiti fisik. Tapi menyakiti batin. Hati."
Naruto hanya menunduk dan memasukkan nasi ke mulutnya lagi. Entah mengapa nasi tersebut jadi tidak bisa ditelannya. Bahkan, terasa sulit untuk mengunyahnya.
"Luka fisik awalnya memang sakit, tapi mudah sembuh dan terkadang nggak berbekas. Tapi kalau hati, biasanya forgive but not forget. Kau harus hati-hati, Naruto. Karena tidak hanya satu hati yang akan tersakiti…"
Kiba terlihat tenang saat mengatakannya. Tapi Naruto tahu kalau temannya yang cerewet itu sedang serius, karena Kiba jarang memberikan petuah kepadanya seperti sekarang. Yang bisa dilakukannya hanya mendengarkan Kiba, dan ia memang sedang tidak berminat untuk menyela. Mungkin belum…
"Seharusnya kita puas dengan apa yang kita miliki. Seharusnya bersyukur jika ada yang mencintai kita dengan setulus hati, bukannya menyakiti…" sahut temannya yang berbadan subur, bernama Akimichi Chōji.
"Kau menyindirku?" Naruto sedikit meninggikan suaranya. Alis kanannya tampak lebih tinggi dari alis sebelahnya.
"Aku akui, kekasihmu memang cantik dan seksi. Tapi, kalau aku sih nggak akan senang jika istriku atau orang yang kucintai menunjukkan keseksiannya di depan pria lain seperti kekasihmu itu. Kulihat, dia terkadang berlebihan dalam berpakaian dan berdandan…" Kiba menambahkan lagi.
"Jangan menjelekkan kekasihku. Kau tidak tahu apa-apa tentang dia," seru Naruto, dengan tetap menjaga volume suaranya.
"Mungkin kalau aku sih buat main-main saja kalau wanita seperti itu. Nggak untuk kunikahi," sahut teman Naruto yang berambut hitam, yaitu Nara Shikamaru.
"Diam kau, rambut nanas." Suara Naruto terdengar geram, tapi ia masih mengendalikan suaranya agar tidak mengganggu pegawai lain yang juga sedang menikmati makan siangnya.
Shikamaru tampak cuek dan kembali menikmati makanannya. Begitupun dengan Chōji.
"Dia juga gila belanja. Aku bisa miskin kalau istriku seperti dia."
"Kau ingin berantem denganku, ya?" Naruto memberikan tatapan mematikan kepada Kiba.
"Bukannya hubunganmu dengan kekasihmu renggang? Gara-gara kau tidak mau membelikan apa yang dimintanya seminggu yang lalu? Lebih tepatnya kau nggak mampu."
Naruto tidak bisa lagi membalas Kiba karena yang dikatakannya memang benar. Mereka berempat sudah bersahabat sejak lama, dan mereka juga sama-sama berasal dari keluarga sederhana. Bukan anak orang kaya.
"Aku hanya ingin kau sadar. Aku kasihan pada Hinata. Dia sudah seperti adikku sendiri. Aku nggak mau kau menyakitinya." Kiba memang dekat dengan Hinata sejak menuntut ilmu di bangku sekolah menengah. Satu sekolah dengan Naruto, Shikamaru, dan Chōji juga.
"Aku mengatakan ini karena aku tidak tahan lagi, Naruto."
Naruto seolah tidak menghiraukan Kiba dengan terus memasukkan nasi ke mulutnya, padahal ia sama sekali tidak bisa untuk mengabaikannya.
"Aku juga nggak mau kalau kau menyesal nantinya…" Kiba mengambil lauk Naruto yang sedari tadi didiamkan oleh pemiliknya. Ia sedikit heran karena Naruto tidak merespon. Ia hanya mengangkat bahunya melihat sikap Naruto yang menurutnya aneh.
"Padahal tipe wanita seperti Hinata yang kuidam-idamkan."
Naruto mengangkat kepalanya dan menatap Kiba dengan alis berkerut.
"Kalau kau masih berniat menyia-nyiakannya terus, lebih baik kau berikan padaku saja."
Naruto tampak memelototkan matanya. "Memangnya Hinata barang?"
"Kenapa? Cemburu? Aku 'kan hanya bercanda," balas Kiba dengan santainya.
Tidak ada lagi yang membuka topik baru di antara mereka berempat. Mereka menikmati makanannya dalam diam.
Jam istirahat hampir berakhir. Mereka semua kembali ke meja kerjanya masing-masing. Sebelum meninggalkan kafetaria, Naruto membeli kopi panas di mesin jual otomatis. Pandangan matanya tampak kosong saat ia menghirup aroma kopinya.
"Apa yang dikatakan Kiba membuatku menyadari akan kelalimanku terhadap Hinata selama ini. Mulai hari ini, aku ingin mencoba untuk bersikap selayaknya seorang suami. Hinata berhak mendapatkan haknya sebagai seorang istri. Bukankah dia sudah bersabar selama satu tahun lebih hidup seatap denganku? Walaupun aku tidak menjamin kalau aku akan bisa mencintainya…" batin Naruto.
Naruto memang tidak menjamin akan bisa membalas cinta Hinata. Tetapi, Naruto juga tidak bisa menjamin kalau ia tidak akan mencintai Hinata…
.
.
.
Naruto pulang lebih awal hari ini. Ia tidak ada lembur, jadi bisa pulang sore. Biasanya, Naruto pulang petang, saat makan malam sudah dihidangkan dengan rapi di meja makan. Terkadang ia juga pulang saat makanan di meja sudah dingin, dan Hinata yang akan memanaskannya kembali.
Naruto berjalan mendekati sakelar lampu yang ada di ruang tamu, dan menyalakan lampunya karena di dalam rumahnya sudah mulai gelap. Ia juga menyalakan lampu di ruangan-ruangan lainnya.
Naruto berjalan ke dapur. Sepi. Sepertinya Hinata belum pulang dari mengajar. Naruto memang tidak melihat motor Hinata terparkir di depan rumah, berarti Hinata memang belum pulang. Naruto jadi merasakan bagaimana jika sendirian di rumah, dan jadi mengetahui rasanya menunggu kedatangan teman serumahnya. Mungkin Hinata juga merasakannya saat Naruto pulang malam.
Saat Naruto berjalan ke kamarnya, ia merasakan getaran ponsel di saku celananya. Wajahnya tampak cerah dan senyumnya mengembang saat melihat siapa yang menghubunginya. Dengan semangat ia menjawab telepon itu.
Belum sempat Naruto mengeluarkan suaranya, tetapi seseorang di seberang sana sudah mendahuluinya bicara, "Kita putus saja."
"Apa?" Naruto membulatkan matanya. Selanjutnya mimik wajah Naruto berubah muram, dan senyumnya perlahan memudar. Ia menjatuhkan jas dan tas kerjanya yang semula berada di tangannya yang tidak menggenggam ponsel. "Kita sudah lama menjalin hubungan—"
"Lalu kenapa? Kau akan menceraikan istrimu, lalu menikahiku? Kelamaan. Aku juga udah nggak mau menunggumu lagi."
"Kenapa?" tanya Naruto dingin. "Aku mencintaimu…"
"Aku juga mencintaimu. Tapi sebagai wanita, aku membutuhkan comfort and stability. Dan kau… tidak bisa memenuhinya."
Naruto hanya diam. Ia melonggarkan dasinya yang mendadak terasa mencekiknya. Ia sadar kalau yang dikatakan lawan bicaranya memang benar. Akhir-akhir ini, hubungan Naruto dengan kekasihnya mulai renggang karena ia tidak bisa memenuhi permintaan kekasihnya itu. Ia memang miskin, dan penghasilannya tidak seberapa—tapi masih bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari dan juga masih ada sisa untuk ditabung.
"Aku memang matre. Wanita mana yang nggak butuh uang. Bullshit, kalau ada yang bilang hanya butuh cinta. Uang memang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang. Cinta saja nggak bakalan bisa menjamin kelangsungan hidupku."
Naruto merasa ada yang mengganjal tenggorokannya. Ia sama sekali belum bisa mengeluarkan suaranya untuk membalas apa yang dikatakan wanita yang pernah hampir dinikahinya itu.
"Kau diam, berarti setuju…"
Naruto memejamkan matanya rapat-rapat. Ia juga meremas rambutnya dengan tangan yang tidak digunakannya untuk memegang ponsel. Rahangnya tampak mengeras karena ia menekan kuat gigi-giginya. Setelah cukup lama ditemani sepi, Naruto membuka matanya kembali. Ia menarik nafas dalam-dalam, dan menghembuskannya perlahan.
"Oke! Kita putus!" seru Naruto akhirnya.
Dan telepon pun terputus…
.
#~**~#
==>_| ~T BERSAMBUNG..............
Disclaimer:
Naruto © Kishimoto Masashi
Warning: AU, OOC, TYPO(S), sinetron banget
Naruto, Hinata: 25 tahun
♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Naruto's point of view
Aku duduk di sini. Seperti biasa, saat makan aku duduk di kursi yang berseberangan dengan Hinata. Sejak aku membentaknya semalam, dia selalu kelihatan sedih. Dia pasti menangis semalaman. Walaupun aku tidak sekamar dengannya, tapi aku pernah memergokinya menangis sendirian di kamarnya. Apa aku hanya bisa membuatnya bersedih dan menangis? Kalau seperti itu, kenapa dia selalu bersikeras untuk mempertahankan pernikahan ini?
Sejak semalam, aku belum bicara sepatah katapun, begitupun dengannya. Dia juga selalu menunduk jika di depanku. Apa dia takut padaku?
Aku masih memperhatikannya yang terlihat tidak menikmati sarapannya. Aku menjadi tidak nafsu makan. Bukan karena makanannya tidak enak—masakan Hinata enak, sangat enak malah—tapi karena aku merasa bersalah pada Hinata, aku jadi tidak bisa merasakan enaknya.
Jujur, aku sangat menyesal. Semalam aku benar-benar lelah dan sedang tidak bisa mengontrol emosiku. Kemarahanku kemarin sebenarnya bukan karena Hinata. Aku hanya suntuk karena memikirkan hubunganku dan kekasihku yang belakangan ini menjadi renggang. Hinata yang tidak bersalah malah menjadi pelampiasanku…
Aku ingin meminta maaf pada Hinata. Tapi, kenapa rasanya sangat sulit untuk mengucapkannya? Bahkan, aku belum sanggup untuk mengeluarkan suaraku.
Aku berdehem sekali untuk melegakan tenggorokanku yang terasa tersumbat. Aku meraih gelasku yang berisi air mineral untuk turut membantu mendorong nasi yang sedari tadi sulit untuk kutelan.
"Hi..Hinata." Akhirnya aku bisa mengeluarkan suaraku.
"Y..ya?"
Pelan sekali suaranya. Apa dia takut mengeluarkan suaranya? Apa aku begitu menyeramkan? Kenapa dia belum berani untuk mengangkat wajahnya dan menatap mataku?
"Maaf," ucapku tulus.
Akhirnya Hinata tidak menunduk lagi dan… tersenyum padaku. Kami-sama… apa hanya mendengar kata maaf dariku sudah bisa membuatnya senang? Bagaimana jika aku melakukan lebih? Bagaimana jika aku tersenyum padanya? Sepertinya sejak aku menikahinya, aku belum pernah memberikan senyumku padanya.
Aku mencoba menarik sudut-sudut bibirku dan aku bisa melihat Hinata yang tersenyum lebih lebar dari sebelumnya. Entah kenapa aku jadi merasa lega saat melihatnya.
Tapi, kenapa aku jadi memikirkan perasaannya?
"Oh iya, mulai hari ini aku mengajar lagi."
"Hm, hati-hati saat mengendarai motor."
Hinata terlihat senang saat aku memberikan sedikit perhatian untuknya.
Senyumnya membuatku semakin merasa bersalah…
.
.
.
Normal pov
Hinata mengendarai skuter matic putihnya dengan wajah berseri-seri di balik helm. Ia merasa sangat senang karena Naruto akhirnya mau berbicara padanya. Hanya diajak bicara oleh Naruto, tetapi sudah bisa membuat Hinata merasa melayang hingga menembus awan. Berlebihan? Memang iya, tapi itulah Hinata. Ia bahagia karena Naruto tidak lagi mendiamkannya saat sarapan, memberikannya sedikit perhatian, dan yang paling membahagiakan… Naruto menunjukkan senyumnya.
Hinata percaya, bahwa segala sesuatu akan indah pada waktunya…
.
.
.
Naruto dan teman-teman sekantornya sedang menikmati makan siangnya di kafetaria. Naruto dan teman-temannya sejak sekolah menengah itu memang kompak, dari tempat kerja sampai divisi tempat mereka mengabdi. Mereka yang bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang makanan itu, sama-sama bertanggung jawab kepada manajer pemasaran.
"Aku salut pada istrimu, Naruto. Dia bersabar hidup denganmu yang menduakannya…" celetuk temannya yang berambut coklat jabrik secara tiba-tiba.
"Dia yang rela diduakan, Kiba," balas Naruto dengan nada suara yang terdengar sangat tenang.
"Kalau orang tuamu tahu bagaimana? Apalagi kalau mertuamu tahu kalau anak perempuan satu-satunya kau aniaya…" tambah si rambut coklat yang bernama lengkap Inuzuka Kiba.
"Memangnya siapa yang menganiaya? Aku bukan seorang suami yang suka melakukan kekerasan dalam rumah tangga…" Naruto tampak tidak terima.
"Iya, kau memang tidak menyakiti fisik. Tapi menyakiti batin. Hati."
Naruto hanya menunduk dan memasukkan nasi ke mulutnya lagi. Entah mengapa nasi tersebut jadi tidak bisa ditelannya. Bahkan, terasa sulit untuk mengunyahnya.
"Luka fisik awalnya memang sakit, tapi mudah sembuh dan terkadang nggak berbekas. Tapi kalau hati, biasanya forgive but not forget. Kau harus hati-hati, Naruto. Karena tidak hanya satu hati yang akan tersakiti…"
Kiba terlihat tenang saat mengatakannya. Tapi Naruto tahu kalau temannya yang cerewet itu sedang serius, karena Kiba jarang memberikan petuah kepadanya seperti sekarang. Yang bisa dilakukannya hanya mendengarkan Kiba, dan ia memang sedang tidak berminat untuk menyela. Mungkin belum…
"Seharusnya kita puas dengan apa yang kita miliki. Seharusnya bersyukur jika ada yang mencintai kita dengan setulus hati, bukannya menyakiti…" sahut temannya yang berbadan subur, bernama Akimichi Chōji.
"Kau menyindirku?" Naruto sedikit meninggikan suaranya. Alis kanannya tampak lebih tinggi dari alis sebelahnya.
"Aku akui, kekasihmu memang cantik dan seksi. Tapi, kalau aku sih nggak akan senang jika istriku atau orang yang kucintai menunjukkan keseksiannya di depan pria lain seperti kekasihmu itu. Kulihat, dia terkadang berlebihan dalam berpakaian dan berdandan…" Kiba menambahkan lagi.
"Jangan menjelekkan kekasihku. Kau tidak tahu apa-apa tentang dia," seru Naruto, dengan tetap menjaga volume suaranya.
"Mungkin kalau aku sih buat main-main saja kalau wanita seperti itu. Nggak untuk kunikahi," sahut teman Naruto yang berambut hitam, yaitu Nara Shikamaru.
"Diam kau, rambut nanas." Suara Naruto terdengar geram, tapi ia masih mengendalikan suaranya agar tidak mengganggu pegawai lain yang juga sedang menikmati makan siangnya.
Shikamaru tampak cuek dan kembali menikmati makanannya. Begitupun dengan Chōji.
"Dia juga gila belanja. Aku bisa miskin kalau istriku seperti dia."
"Kau ingin berantem denganku, ya?" Naruto memberikan tatapan mematikan kepada Kiba.
"Bukannya hubunganmu dengan kekasihmu renggang? Gara-gara kau tidak mau membelikan apa yang dimintanya seminggu yang lalu? Lebih tepatnya kau nggak mampu."
Naruto tidak bisa lagi membalas Kiba karena yang dikatakannya memang benar. Mereka berempat sudah bersahabat sejak lama, dan mereka juga sama-sama berasal dari keluarga sederhana. Bukan anak orang kaya.
"Aku hanya ingin kau sadar. Aku kasihan pada Hinata. Dia sudah seperti adikku sendiri. Aku nggak mau kau menyakitinya." Kiba memang dekat dengan Hinata sejak menuntut ilmu di bangku sekolah menengah. Satu sekolah dengan Naruto, Shikamaru, dan Chōji juga.
"Aku mengatakan ini karena aku tidak tahan lagi, Naruto."
Naruto seolah tidak menghiraukan Kiba dengan terus memasukkan nasi ke mulutnya, padahal ia sama sekali tidak bisa untuk mengabaikannya.
"Aku juga nggak mau kalau kau menyesal nantinya…" Kiba mengambil lauk Naruto yang sedari tadi didiamkan oleh pemiliknya. Ia sedikit heran karena Naruto tidak merespon. Ia hanya mengangkat bahunya melihat sikap Naruto yang menurutnya aneh.
"Padahal tipe wanita seperti Hinata yang kuidam-idamkan."
Naruto mengangkat kepalanya dan menatap Kiba dengan alis berkerut.
"Kalau kau masih berniat menyia-nyiakannya terus, lebih baik kau berikan padaku saja."
Naruto tampak memelototkan matanya. "Memangnya Hinata barang?"
"Kenapa? Cemburu? Aku 'kan hanya bercanda," balas Kiba dengan santainya.
Tidak ada lagi yang membuka topik baru di antara mereka berempat. Mereka menikmati makanannya dalam diam.
Jam istirahat hampir berakhir. Mereka semua kembali ke meja kerjanya masing-masing. Sebelum meninggalkan kafetaria, Naruto membeli kopi panas di mesin jual otomatis. Pandangan matanya tampak kosong saat ia menghirup aroma kopinya.
"Apa yang dikatakan Kiba membuatku menyadari akan kelalimanku terhadap Hinata selama ini. Mulai hari ini, aku ingin mencoba untuk bersikap selayaknya seorang suami. Hinata berhak mendapatkan haknya sebagai seorang istri. Bukankah dia sudah bersabar selama satu tahun lebih hidup seatap denganku? Walaupun aku tidak menjamin kalau aku akan bisa mencintainya…" batin Naruto.
Naruto memang tidak menjamin akan bisa membalas cinta Hinata. Tetapi, Naruto juga tidak bisa menjamin kalau ia tidak akan mencintai Hinata…
.
.
.
Naruto pulang lebih awal hari ini. Ia tidak ada lembur, jadi bisa pulang sore. Biasanya, Naruto pulang petang, saat makan malam sudah dihidangkan dengan rapi di meja makan. Terkadang ia juga pulang saat makanan di meja sudah dingin, dan Hinata yang akan memanaskannya kembali.
Naruto berjalan mendekati sakelar lampu yang ada di ruang tamu, dan menyalakan lampunya karena di dalam rumahnya sudah mulai gelap. Ia juga menyalakan lampu di ruangan-ruangan lainnya.
Naruto berjalan ke dapur. Sepi. Sepertinya Hinata belum pulang dari mengajar. Naruto memang tidak melihat motor Hinata terparkir di depan rumah, berarti Hinata memang belum pulang. Naruto jadi merasakan bagaimana jika sendirian di rumah, dan jadi mengetahui rasanya menunggu kedatangan teman serumahnya. Mungkin Hinata juga merasakannya saat Naruto pulang malam.
Saat Naruto berjalan ke kamarnya, ia merasakan getaran ponsel di saku celananya. Wajahnya tampak cerah dan senyumnya mengembang saat melihat siapa yang menghubunginya. Dengan semangat ia menjawab telepon itu.
Belum sempat Naruto mengeluarkan suaranya, tetapi seseorang di seberang sana sudah mendahuluinya bicara, "Kita putus saja."
"Apa?" Naruto membulatkan matanya. Selanjutnya mimik wajah Naruto berubah muram, dan senyumnya perlahan memudar. Ia menjatuhkan jas dan tas kerjanya yang semula berada di tangannya yang tidak menggenggam ponsel. "Kita sudah lama menjalin hubungan—"
"Lalu kenapa? Kau akan menceraikan istrimu, lalu menikahiku? Kelamaan. Aku juga udah nggak mau menunggumu lagi."
"Kenapa?" tanya Naruto dingin. "Aku mencintaimu…"
"Aku juga mencintaimu. Tapi sebagai wanita, aku membutuhkan comfort and stability. Dan kau… tidak bisa memenuhinya."
Naruto hanya diam. Ia melonggarkan dasinya yang mendadak terasa mencekiknya. Ia sadar kalau yang dikatakan lawan bicaranya memang benar. Akhir-akhir ini, hubungan Naruto dengan kekasihnya mulai renggang karena ia tidak bisa memenuhi permintaan kekasihnya itu. Ia memang miskin, dan penghasilannya tidak seberapa—tapi masih bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari dan juga masih ada sisa untuk ditabung.
"Aku memang matre. Wanita mana yang nggak butuh uang. Bullshit, kalau ada yang bilang hanya butuh cinta. Uang memang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang. Cinta saja nggak bakalan bisa menjamin kelangsungan hidupku."
Naruto merasa ada yang mengganjal tenggorokannya. Ia sama sekali belum bisa mengeluarkan suaranya untuk membalas apa yang dikatakan wanita yang pernah hampir dinikahinya itu.
"Kau diam, berarti setuju…"
Naruto memejamkan matanya rapat-rapat. Ia juga meremas rambutnya dengan tangan yang tidak digunakannya untuk memegang ponsel. Rahangnya tampak mengeras karena ia menekan kuat gigi-giginya. Setelah cukup lama ditemani sepi, Naruto membuka matanya kembali. Ia menarik nafas dalam-dalam, dan menghembuskannya perlahan.
"Oke! Kita putus!" seru Naruto akhirnya.
Dan telepon pun terputus…
.
#~**~#
==>_| ~T BERSAMBUNG..............
Chap : 1
Chap : 1
Disclaimer:
Naruto © Kishimoto Masashi
Unexpected Marriage © Äsking Namikaze
Warning: AU, OOC, TYPO(S), sinetron banget
Naruto, Hinata: 25 tahun
♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Naruto's point of view
~~~~~~~~~~~~~~
Aku dan err… istriku—Hinata—sedang berada di rumah mertuaku, yang berarti rumah orang tua Hinata. Kami kemari karena hari ini—delapan Januari—adalah hari ulang tahun ayah mertuaku, Hyūga Hiashi. Keluarga Hyūga sepertinya memang gemar sekali mengadakan pesta. Suasana meriah di kediaman Hyūga tidak surut sejak dirayakannya ulang tahun Hinata—dua puluh tujuh Desember—tahun lalu. Ya, tahun lalu karena sekarang 'kan sudah memasuki tahun baru.
Sebenarnya, aku dan Hinata sudah menginap di sini sejak sehari sebelum digelarnya pesta ulang tahun Hinata. Sejak saat itu, suasana di kediaman Hyūga selalu ramai. Pesta tahun baru juga begitu, banyak tamu yang datang, yang kebanyakan adalah teman-teman ayah mertuaku. Ibuku bahkan juga menginap di sini, dan baru pulang besok. Orang tuaku dan orang tua Hinata memang bersahabat, jadi tidak heran jika ibuku tidak merasa sungkan karena permintaan ibu Hinata yang sering mengajak ibuku untuk tinggal di kediaman Hyūga. Alasannya terkadang cukup sepele, butuh teman ngobrol. Sejak Hinata menikah denganku, ibu Hinata memang hanya tinggal berdua dengan suaminya. Jadi, menurutku ibu Hinata hanya kesepian. Padahal ibuku malah tinggal sendiri, tapi beliau tidak pernah mengeluh.
Dulu, waktu muda, ibuku adalah teman satu sekolah ibu Hinata. Saat itu, mereka juga tinggal satu flat, jadi mereka memang sangat akrab hingga saat ini. Persahabatan karib merekalah yang membuat diriku dan Hinata menjadi sepasang suami istri. Sepasang suami istri? Cih! Aku hanya menganggap Hinata sebagai teman satu rumah saja. Aku benar-benar tidak memiliki perasaan apapun kepadanya. Tidak ada cinta sedikitpun dalam hatiku untuknya. Padahal cinta sangat penting dalam sebuah hubungan sakral layaknya pernikahan.
Semakin aku mencoba untuk mencintai Hinata, semakin aku merasa jengkel kepadanya. Itu mungkin karena aku menganggapnya sebagai pengganggu hubunganku dengan kekasihku yang hampir kunikahi. Perempuan yang menjadi kekasihku sejak tiga tahun yang lalu. Untung saja ia masih mau berhubungan denganku setelah aku menikah dengan Hinata. Kalau tidak, aku pasti sudah menceraikan Hinata walaupun ia memohon atau bahkan bersujud di kakiku.
"… -kun… Naruto-kun…"
"A..apa?"
Entah sejak kapan Hinata memanggil namaku. Tapi sejak aku sadar kalau ia memanggilku, semua mata sudah mengarah kepadaku. Di ruang keluarga yang sudah sepi ini, hanya ada ayah dan ibu mertua, serta ibuku yang menatapku heran. Aku pasti terlihat melamun sejak tadi.
"Kapan?"
Apa maksud Okaa-chan dengan kapan? Memangnya tadi mereka membicarakan apa sih?
"A..apanya?" tanyaku sedikit kikuk. Kulihat Hinata hanya diam dengan wajah merona. Ayah dan ibu mertuaku seolah menunggu jawaban dariku. Kalau ibuku, melihatku sambil menggelengkan kepalanya pelan.
"Jadi, dari tadi kau tidak mendengarkan kami?" Okaa-chan menghela nafas lelah setelah mengatakannya.
"Gomen…" ucapku sambil sedikit tersenyum—yang sebenarnya kupaksakan.
"Aku tadi tanya, kapan kalian memberikan cucu pada kami?"
Oh… ternyata itu… Kenapa mendadak jadi bad mood, ya? Aku sama sekali tidak berminat dengan pembicaraan seperti ini. Apa yang harus kukatakan?
"Ka..kami menundanya."
Baguslah kalau kau bisa mencari alasan, Hinata. Aku benar-benar malas menjawabnya.
"Kenapa masih menunda-nunda?" Sekarang Okaa-san yang angkat bicara.
Ingin jawaban yang jujur? Kalau iya, aku bisa mengatakan kalau aku tidak mencintai Hinata. Jadi, aku sama sekali tidak tertarik padanya. Aku rasa, kalian semua bisa terkena serangan jantung setelah mendengarnya. Jadi, aku putuskan untuk mencari alasan yang… mungkin sedikit lebih baik dari itu.
"Hinata harus mengajar. Saya juga harus bekerja. Jadi—"
"Itu bukan alasan yang kuat, Naruto," potong Okaa-chan. "Hinata bisa cuti. Kalau Hinata harus mengajar lagi, kalian bisa menitipkan anak kalian pada kami."
Kulihat Okaa-san hanya mengangguk setuju dengan penuturan Okaa-chan.
"Jadi, tidak ada alasan lagi untuk menundanya," lanjut Okaa-chan.
Kenapa hidupku jadi diatur-atur sih? Apa karena aku dan Hinata sama-sama anak tunggal, jadi mereka begitu inginnya menimang cucu? Kalau tidak sabar, kenapa tidak mengadopsi bayi untuk dijadikan cucu?
"Kau dari tadi banyak diam, Naruto. Kenapa?" Saat ini Okaa-chan malah terlihat khawatir.
"Ah… tidak apa-apa, aku hanya sedikit… lelah," jawabku sedikit asal.
"Kalau begitu istirahatlah…" Kini aku mendapatkan pandangan khawatir dari ibu mertuaku. "Hinata…" Okaa-san tidak melanjutkan kalimatnya, beliau hanya mengerling kepada Hinata yang duduk di sampingku. Aku dapat melihat pipi Hinata yang memerah seperti biasa.
"Saya—err… kami akan pulang sekarang," ucapku sambil berdiri dari posisi enakku di sofa berlapis beludru coklat yang hangat itu. Otou-san tidak banyak bicara seperti biasa. Hinata dan Okaa-san sedikit terkejut. Kalau Okaa-chan malah mengernyitkan dahinya.
"Kenapa malam-malam begini? Katanya lelah?" tanya Okaa-san.
Aku hanya tidak mau tidur satu kamar lagi dengan Hinata. Sudah cukup aku tidur di sofa kamar Hinata selama tiga belas hari. Badanku masih terasa pegal sampai sekarang. Apa aku harus jujur untuk yang ini?
"Besok Naruto-kun harus bekerja, Okaa-san…"
Mungkin aku harus berterima kasih padamu, Hinata. Dari tadi kau selalu bisa menyelamatkanku di saat posisiku terjepit. Alasanmu sepertinya bisa diterima mereka semua, buktinya mereka hanya bungkam setelahnya. Oke, aku tidak peduli dengan semua itu. Aku hanya ingin segera pulang. Sekarang. Pembicaraan tadi membuat suasana hatiku menjadi buruk.
.
.
.
Hinata's point of view
~~~~~~~~~~~~~~
Kami—aku dan suamiku, Naruto-kun—sedang dalam perjalanan pulang ke rumah kami, lebih tepatnya rumah mungil dengan dua lantai yang dibeli Naruto-kun sebelum pernikahan kami satu tahun yang lalu. Pernikahan karena perjodohan bodoh orang tua kami sejak kami belum dilahirkan. Orang tua kami bersahabat, dan jika mereka memiliki anak yang berlainan jenis kelamin, maka mereka akan menjodohkan anak mereka, yaitu kami. Pernikahan yang sebenarnya sangat aku dambakan, tapi tidak pernah diharapkan Naruto-kun. Walaupun ini perjodohan, tapi aku sudah memiliki rasa kepada Naruto-kun sejak kami sama-sama duduk di bangku sekolah menengah. Sebelumnya aku memang tidak pernah tahu tentang perjodohan ini, tapi aku sudah lama menyukainya.
Entah apa yang membuatku tetap bertahan menjadi istrinya. Seorang istri yang tidak pernah disentuh suaminya sedikitpun. Selama ini, kami lebih sering diam. Kami hanya berbicara jika benar-benar sangat dibutuhkan. Setidaknya saat kami masih menjadi seorang pelajar, dia masih mau mengajakku bicara karena kami pernah menjadi teman sekelas. Tapi semenjak pernikahan ini, hubungan kami benar-benar buruk. Mungkin Naruto-kun sudah menceraikanku, jika aku tidak memohon untuk tetap mempertahankan pernikahan ini. Aku tidak ingin melepasnya. Mungkin aku memang egois. Tapi, aku benar-benar tidak ingin berpisah darinya. Untuk yang satu ini, aku berhak bersikap egois.
Aku tidak peduli jika aku dibenci dan dianggap mengganggu… menganggu hubungannya dengan kekasihnya yang hampir dinikahinya. Sampai sekarang, dia masih menjalin hubungan dengan perempuan yang menjadi kekasihnya… kekasihnya sejak ia duduk di bangku kuliah. Bahkan sampai pernikahan kami berumur lebih dari satu tahun, dia masih mempertahankan hubungan itu. Mungkin ini adalah konsekuensi yang harus kuterima karena menikah dengan laki-laki yang mencintai perempuan lain. Ini juga syarat darinya untukku, jika aku masih ingin menjadi istrinya. Aku harus menerimanya…
Karena aku mencintainya…
.
.
.
Normal pov
*********
"Sudah sampai," Suara datar Naruto membuyarkan lamunan Hinata.
Hinata melihat keluar jendela mobil Naruto. Ternyata memang sudah sampai di halaman sempit—yang hanya cukup untuk satu mobil—rumah mereka. Rumah yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah orang tua Naruto. Lebih tepatnya orang tua tunggal Naruto, yaitu ibu Naruto—Uzumaki Kushina. Karena ayah Naruto—Namikaze Minato—sudah meninggal sebelum Naruto dilahirkan. Karena itu, Kushina memberikan marganya untuk Naruto, bukan marga ayahnya.
Naruto yang melihat Hinata masih belum turun dari mobilnya, memutuskan untuk turun lebih dulu. Dengan kasar ia membuka pintu mobil dan menutupnya dengan dibanting, membuat Hinata yang masih berada di dalam tersentak kaget. Naruto dengan cepat melangkahkan kakinya ke dalam rumahnya. Hinata jadi mengira kalau Naruto sedang dalam emosi yang buruk saat ini. Sepertinya karena percakapan yang terjadi beberapa saat yang lalu di rumah orang tua Hinata.
Hinata turun dari mobil Naruto. Kemudian, ia masuk ke rumahnya dengan sedikit takut. Hinata menemukan Naruto sedang duduk di sofa orange ruang tamu. Kemeja yang semula rapi, kini terlihat berantakan dan beberapa kancing kemeja biru mudanya terbuka. Naruto hanya menunduk sambil meremas rambut kuningnya.
"Ka..kau kenapa?" tanya Hinata yang diliputi rasa takut.
"Apa pedulimu, hah?" balas Naruto sinis sambil menatap tajam Hinata.
"Kalau kau ada masalah, ceritakan padaku…" ucap Hinata seraya mendekat kepada Naruto.
Naruto berdiri dari duduknya dan menghadap Hinata. "Masalahku adalah kau! Kalau kau tidak pernah ada, aku pasti sudah bahagia!" bentak Naruto di depan muka Hinata.
Seketika mata Hinata berkaca-kaca. Hinata tahu, kalau ia tidak pernah dilahirkan, pasti perjodohan itu batal dan Naruto bisa dengan bebas memilih pasangan hidupnya. Perlahan air matanya sudah membasahi pipinya. Walaupun begitu, tidak ada rasa iba di hati Naruto untuk Hinata. Bahkan, Naruto masih memasang wajah dinginnya saat Hinata menangis di depannya.
"Aku tidak pernah mengharapkan pernikahan konyol ini! Aku lelah!"
"Kalau kau tidak menginginkannya, kenapa mengucapkan ikrar itu?" tanya Hinata dengan isak tangisnya.
"Aku terpaksa! Aku tidak bisa melawan Okaa-chan yang menjadi orang tua tunggalku! Berapa kali kau menanyakan tentang itu, hah? Aku bosan menjawabnya!" Naruto belum menurunkan suara tingginya.
Hinata memejamkan matanya karena takut melihat Naruto yang tidak lagi menahan amarahnya. "Maaf… maaf Naruto-kun…"
"Permintaan maafmu sama sekali tidak berguna," ujar Naruto seraya meninggalkan Hinata yang menangis sendirian di ruang tamu.
.
#~**~#
==>_| ~To Be Continued~
Disclaimer:
Naruto © Kishimoto Masashi
Unexpected Marriage © Äsking Namikaze
Warning: AU, OOC, TYPO(S), sinetron banget
Naruto, Hinata: 25 tahun
♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Naruto's point of view
~~~~~~~~~~~~~~
Aku dan err… istriku—Hinata—sedang berada di rumah mertuaku, yang berarti rumah orang tua Hinata. Kami kemari karena hari ini—delapan Januari—adalah hari ulang tahun ayah mertuaku, Hyūga Hiashi. Keluarga Hyūga sepertinya memang gemar sekali mengadakan pesta. Suasana meriah di kediaman Hyūga tidak surut sejak dirayakannya ulang tahun Hinata—dua puluh tujuh Desember—tahun lalu. Ya, tahun lalu karena sekarang 'kan sudah memasuki tahun baru.
Sebenarnya, aku dan Hinata sudah menginap di sini sejak sehari sebelum digelarnya pesta ulang tahun Hinata. Sejak saat itu, suasana di kediaman Hyūga selalu ramai. Pesta tahun baru juga begitu, banyak tamu yang datang, yang kebanyakan adalah teman-teman ayah mertuaku. Ibuku bahkan juga menginap di sini, dan baru pulang besok. Orang tuaku dan orang tua Hinata memang bersahabat, jadi tidak heran jika ibuku tidak merasa sungkan karena permintaan ibu Hinata yang sering mengajak ibuku untuk tinggal di kediaman Hyūga. Alasannya terkadang cukup sepele, butuh teman ngobrol. Sejak Hinata menikah denganku, ibu Hinata memang hanya tinggal berdua dengan suaminya. Jadi, menurutku ibu Hinata hanya kesepian. Padahal ibuku malah tinggal sendiri, tapi beliau tidak pernah mengeluh.
Dulu, waktu muda, ibuku adalah teman satu sekolah ibu Hinata. Saat itu, mereka juga tinggal satu flat, jadi mereka memang sangat akrab hingga saat ini. Persahabatan karib merekalah yang membuat diriku dan Hinata menjadi sepasang suami istri. Sepasang suami istri? Cih! Aku hanya menganggap Hinata sebagai teman satu rumah saja. Aku benar-benar tidak memiliki perasaan apapun kepadanya. Tidak ada cinta sedikitpun dalam hatiku untuknya. Padahal cinta sangat penting dalam sebuah hubungan sakral layaknya pernikahan.
Semakin aku mencoba untuk mencintai Hinata, semakin aku merasa jengkel kepadanya. Itu mungkin karena aku menganggapnya sebagai pengganggu hubunganku dengan kekasihku yang hampir kunikahi. Perempuan yang menjadi kekasihku sejak tiga tahun yang lalu. Untung saja ia masih mau berhubungan denganku setelah aku menikah dengan Hinata. Kalau tidak, aku pasti sudah menceraikan Hinata walaupun ia memohon atau bahkan bersujud di kakiku.
"… -kun… Naruto-kun…"
"A..apa?"
Entah sejak kapan Hinata memanggil namaku. Tapi sejak aku sadar kalau ia memanggilku, semua mata sudah mengarah kepadaku. Di ruang keluarga yang sudah sepi ini, hanya ada ayah dan ibu mertua, serta ibuku yang menatapku heran. Aku pasti terlihat melamun sejak tadi.
"Kapan?"
Apa maksud Okaa-chan dengan kapan? Memangnya tadi mereka membicarakan apa sih?
"A..apanya?" tanyaku sedikit kikuk. Kulihat Hinata hanya diam dengan wajah merona. Ayah dan ibu mertuaku seolah menunggu jawaban dariku. Kalau ibuku, melihatku sambil menggelengkan kepalanya pelan.
"Jadi, dari tadi kau tidak mendengarkan kami?" Okaa-chan menghela nafas lelah setelah mengatakannya.
"Gomen…" ucapku sambil sedikit tersenyum—yang sebenarnya kupaksakan.
"Aku tadi tanya, kapan kalian memberikan cucu pada kami?"
Oh… ternyata itu… Kenapa mendadak jadi bad mood, ya? Aku sama sekali tidak berminat dengan pembicaraan seperti ini. Apa yang harus kukatakan?
"Ka..kami menundanya."
Baguslah kalau kau bisa mencari alasan, Hinata. Aku benar-benar malas menjawabnya.
"Kenapa masih menunda-nunda?" Sekarang Okaa-san yang angkat bicara.
Ingin jawaban yang jujur? Kalau iya, aku bisa mengatakan kalau aku tidak mencintai Hinata. Jadi, aku sama sekali tidak tertarik padanya. Aku rasa, kalian semua bisa terkena serangan jantung setelah mendengarnya. Jadi, aku putuskan untuk mencari alasan yang… mungkin sedikit lebih baik dari itu.
"Hinata harus mengajar. Saya juga harus bekerja. Jadi—"
"Itu bukan alasan yang kuat, Naruto," potong Okaa-chan. "Hinata bisa cuti. Kalau Hinata harus mengajar lagi, kalian bisa menitipkan anak kalian pada kami."
Kulihat Okaa-san hanya mengangguk setuju dengan penuturan Okaa-chan.
"Jadi, tidak ada alasan lagi untuk menundanya," lanjut Okaa-chan.
Kenapa hidupku jadi diatur-atur sih? Apa karena aku dan Hinata sama-sama anak tunggal, jadi mereka begitu inginnya menimang cucu? Kalau tidak sabar, kenapa tidak mengadopsi bayi untuk dijadikan cucu?
"Kau dari tadi banyak diam, Naruto. Kenapa?" Saat ini Okaa-chan malah terlihat khawatir.
"Ah… tidak apa-apa, aku hanya sedikit… lelah," jawabku sedikit asal.
"Kalau begitu istirahatlah…" Kini aku mendapatkan pandangan khawatir dari ibu mertuaku. "Hinata…" Okaa-san tidak melanjutkan kalimatnya, beliau hanya mengerling kepada Hinata yang duduk di sampingku. Aku dapat melihat pipi Hinata yang memerah seperti biasa.
"Saya—err… kami akan pulang sekarang," ucapku sambil berdiri dari posisi enakku di sofa berlapis beludru coklat yang hangat itu. Otou-san tidak banyak bicara seperti biasa. Hinata dan Okaa-san sedikit terkejut. Kalau Okaa-chan malah mengernyitkan dahinya.
"Kenapa malam-malam begini? Katanya lelah?" tanya Okaa-san.
Aku hanya tidak mau tidur satu kamar lagi dengan Hinata. Sudah cukup aku tidur di sofa kamar Hinata selama tiga belas hari. Badanku masih terasa pegal sampai sekarang. Apa aku harus jujur untuk yang ini?
"Besok Naruto-kun harus bekerja, Okaa-san…"
Mungkin aku harus berterima kasih padamu, Hinata. Dari tadi kau selalu bisa menyelamatkanku di saat posisiku terjepit. Alasanmu sepertinya bisa diterima mereka semua, buktinya mereka hanya bungkam setelahnya. Oke, aku tidak peduli dengan semua itu. Aku hanya ingin segera pulang. Sekarang. Pembicaraan tadi membuat suasana hatiku menjadi buruk.
.
.
.
Hinata's point of view
~~~~~~~~~~~~~~
Kami—aku dan suamiku, Naruto-kun—sedang dalam perjalanan pulang ke rumah kami, lebih tepatnya rumah mungil dengan dua lantai yang dibeli Naruto-kun sebelum pernikahan kami satu tahun yang lalu. Pernikahan karena perjodohan bodoh orang tua kami sejak kami belum dilahirkan. Orang tua kami bersahabat, dan jika mereka memiliki anak yang berlainan jenis kelamin, maka mereka akan menjodohkan anak mereka, yaitu kami. Pernikahan yang sebenarnya sangat aku dambakan, tapi tidak pernah diharapkan Naruto-kun. Walaupun ini perjodohan, tapi aku sudah memiliki rasa kepada Naruto-kun sejak kami sama-sama duduk di bangku sekolah menengah. Sebelumnya aku memang tidak pernah tahu tentang perjodohan ini, tapi aku sudah lama menyukainya.
Entah apa yang membuatku tetap bertahan menjadi istrinya. Seorang istri yang tidak pernah disentuh suaminya sedikitpun. Selama ini, kami lebih sering diam. Kami hanya berbicara jika benar-benar sangat dibutuhkan. Setidaknya saat kami masih menjadi seorang pelajar, dia masih mau mengajakku bicara karena kami pernah menjadi teman sekelas. Tapi semenjak pernikahan ini, hubungan kami benar-benar buruk. Mungkin Naruto-kun sudah menceraikanku, jika aku tidak memohon untuk tetap mempertahankan pernikahan ini. Aku tidak ingin melepasnya. Mungkin aku memang egois. Tapi, aku benar-benar tidak ingin berpisah darinya. Untuk yang satu ini, aku berhak bersikap egois.
Aku tidak peduli jika aku dibenci dan dianggap mengganggu… menganggu hubungannya dengan kekasihnya yang hampir dinikahinya. Sampai sekarang, dia masih menjalin hubungan dengan perempuan yang menjadi kekasihnya… kekasihnya sejak ia duduk di bangku kuliah. Bahkan sampai pernikahan kami berumur lebih dari satu tahun, dia masih mempertahankan hubungan itu. Mungkin ini adalah konsekuensi yang harus kuterima karena menikah dengan laki-laki yang mencintai perempuan lain. Ini juga syarat darinya untukku, jika aku masih ingin menjadi istrinya. Aku harus menerimanya…
Karena aku mencintainya…
.
.
.
Normal pov
*********
"Sudah sampai," Suara datar Naruto membuyarkan lamunan Hinata.
Hinata melihat keluar jendela mobil Naruto. Ternyata memang sudah sampai di halaman sempit—yang hanya cukup untuk satu mobil—rumah mereka. Rumah yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah orang tua Naruto. Lebih tepatnya orang tua tunggal Naruto, yaitu ibu Naruto—Uzumaki Kushina. Karena ayah Naruto—Namikaze Minato—sudah meninggal sebelum Naruto dilahirkan. Karena itu, Kushina memberikan marganya untuk Naruto, bukan marga ayahnya.
Naruto yang melihat Hinata masih belum turun dari mobilnya, memutuskan untuk turun lebih dulu. Dengan kasar ia membuka pintu mobil dan menutupnya dengan dibanting, membuat Hinata yang masih berada di dalam tersentak kaget. Naruto dengan cepat melangkahkan kakinya ke dalam rumahnya. Hinata jadi mengira kalau Naruto sedang dalam emosi yang buruk saat ini. Sepertinya karena percakapan yang terjadi beberapa saat yang lalu di rumah orang tua Hinata.
Hinata turun dari mobil Naruto. Kemudian, ia masuk ke rumahnya dengan sedikit takut. Hinata menemukan Naruto sedang duduk di sofa orange ruang tamu. Kemeja yang semula rapi, kini terlihat berantakan dan beberapa kancing kemeja biru mudanya terbuka. Naruto hanya menunduk sambil meremas rambut kuningnya.
"Ka..kau kenapa?" tanya Hinata yang diliputi rasa takut.
"Apa pedulimu, hah?" balas Naruto sinis sambil menatap tajam Hinata.
"Kalau kau ada masalah, ceritakan padaku…" ucap Hinata seraya mendekat kepada Naruto.
Naruto berdiri dari duduknya dan menghadap Hinata. "Masalahku adalah kau! Kalau kau tidak pernah ada, aku pasti sudah bahagia!" bentak Naruto di depan muka Hinata.
Seketika mata Hinata berkaca-kaca. Hinata tahu, kalau ia tidak pernah dilahirkan, pasti perjodohan itu batal dan Naruto bisa dengan bebas memilih pasangan hidupnya. Perlahan air matanya sudah membasahi pipinya. Walaupun begitu, tidak ada rasa iba di hati Naruto untuk Hinata. Bahkan, Naruto masih memasang wajah dinginnya saat Hinata menangis di depannya.
"Aku tidak pernah mengharapkan pernikahan konyol ini! Aku lelah!"
"Kalau kau tidak menginginkannya, kenapa mengucapkan ikrar itu?" tanya Hinata dengan isak tangisnya.
"Aku terpaksa! Aku tidak bisa melawan Okaa-chan yang menjadi orang tua tunggalku! Berapa kali kau menanyakan tentang itu, hah? Aku bosan menjawabnya!" Naruto belum menurunkan suara tingginya.
Hinata memejamkan matanya karena takut melihat Naruto yang tidak lagi menahan amarahnya. "Maaf… maaf Naruto-kun…"
"Permintaan maafmu sama sekali tidak berguna," ujar Naruto seraya meninggalkan Hinata yang menangis sendirian di ruang tamu.
.
#~**~#
==>_| ~To Be Continued~
Disclaimer:
Naruto © Kishimoto Masashi
Unexpected Marriage © Äsking Namikaze
Warning: AU, OOC, TYPO(S), sinetron banget
Naruto, Hinata: 25 tahun
♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Naruto's point of view
~~~~~~~~~~~~~~
Aku dan err… istriku—Hinata—sedang berada di rumah mertuaku, yang berarti rumah orang tua Hinata. Kami kemari karena hari ini—delapan Januari—adalah hari ulang tahun ayah mertuaku, Hyūga Hiashi. Keluarga Hyūga sepertinya memang gemar sekali mengadakan pesta. Suasana meriah di kediaman Hyūga tidak surut sejak dirayakannya ulang tahun Hinata—dua puluh tujuh Desember—tahun lalu. Ya, tahun lalu karena sekarang 'kan sudah memasuki tahun baru.
Sebenarnya, aku dan Hinata sudah menginap di sini sejak sehari sebelum digelarnya pesta ulang tahun Hinata. Sejak saat itu, suasana di kediaman Hyūga selalu ramai. Pesta tahun baru juga begitu, banyak tamu yang datang, yang kebanyakan adalah teman-teman ayah mertuaku. Ibuku bahkan juga menginap di sini, dan baru pulang besok. Orang tuaku dan orang tua Hinata memang bersahabat, jadi tidak heran jika ibuku tidak merasa sungkan karena permintaan ibu Hinata yang sering mengajak ibuku untuk tinggal di kediaman Hyūga. Alasannya terkadang cukup sepele, butuh teman ngobrol. Sejak Hinata menikah denganku, ibu Hinata memang hanya tinggal berdua dengan suaminya. Jadi, menurutku ibu Hinata hanya kesepian. Padahal ibuku malah tinggal sendiri, tapi beliau tidak pernah mengeluh.
Dulu, waktu muda, ibuku adalah teman satu sekolah ibu Hinata. Saat itu, mereka juga tinggal satu flat, jadi mereka memang sangat akrab hingga saat ini. Persahabatan karib merekalah yang membuat diriku dan Hinata menjadi sepasang suami istri. Sepasang suami istri? Cih! Aku hanya menganggap Hinata sebagai teman satu rumah saja. Aku benar-benar tidak memiliki perasaan apapun kepadanya. Tidak ada cinta sedikitpun dalam hatiku untuknya. Padahal cinta sangat penting dalam sebuah hubungan sakral layaknya pernikahan.
Semakin aku mencoba untuk mencintai Hinata, semakin aku merasa jengkel kepadanya. Itu mungkin karena aku menganggapnya sebagai pengganggu hubunganku dengan kekasihku yang hampir kunikahi. Perempuan yang menjadi kekasihku sejak tiga tahun yang lalu. Untung saja ia masih mau berhubungan denganku setelah aku menikah dengan Hinata. Kalau tidak, aku pasti sudah menceraikan Hinata walaupun ia memohon atau bahkan bersujud di kakiku.
"… -kun… Naruto-kun…"
"A..apa?"
Entah sejak kapan Hinata memanggil namaku. Tapi sejak aku sadar kalau ia memanggilku, semua mata sudah mengarah kepadaku. Di ruang keluarga yang sudah sepi ini, hanya ada ayah dan ibu mertua, serta ibuku yang menatapku heran. Aku pasti terlihat melamun sejak tadi.
"Kapan?"
Apa maksud Okaa-chan dengan kapan? Memangnya tadi mereka membicarakan apa sih?
"A..apanya?" tanyaku sedikit kikuk. Kulihat Hinata hanya diam dengan wajah merona. Ayah dan ibu mertuaku seolah menunggu jawaban dariku. Kalau ibuku, melihatku sambil menggelengkan kepalanya pelan.
"Jadi, dari tadi kau tidak mendengarkan kami?" Okaa-chan menghela nafas lelah setelah mengatakannya.
"Gomen…" ucapku sambil sedikit tersenyum—yang sebenarnya kupaksakan.
"Aku tadi tanya, kapan kalian memberikan cucu pada kami?"
Oh… ternyata itu… Kenapa mendadak jadi bad mood, ya? Aku sama sekali tidak berminat dengan pembicaraan seperti ini. Apa yang harus kukatakan?
"Ka..kami menundanya."
Baguslah kalau kau bisa mencari alasan, Hinata. Aku benar-benar malas menjawabnya.
"Kenapa masih menunda-nunda?" Sekarang Okaa-san yang angkat bicara.
Ingin jawaban yang jujur? Kalau iya, aku bisa mengatakan kalau aku tidak mencintai Hinata. Jadi, aku sama sekali tidak tertarik padanya. Aku rasa, kalian semua bisa terkena serangan jantung setelah mendengarnya. Jadi, aku putuskan untuk mencari alasan yang… mungkin sedikit lebih baik dari itu.
"Hinata harus mengajar. Saya juga harus bekerja. Jadi—"
"Itu bukan alasan yang kuat, Naruto," potong Okaa-chan. "Hinata bisa cuti. Kalau Hinata harus mengajar lagi, kalian bisa menitipkan anak kalian pada kami."
Kulihat Okaa-san hanya mengangguk setuju dengan penuturan Okaa-chan.
"Jadi, tidak ada alasan lagi untuk menundanya," lanjut Okaa-chan.
Kenapa hidupku jadi diatur-atur sih? Apa karena aku dan Hinata sama-sama anak tunggal, jadi mereka begitu inginnya menimang cucu? Kalau tidak sabar, kenapa tidak mengadopsi bayi untuk dijadikan cucu?
"Kau dari tadi banyak diam, Naruto. Kenapa?" Saat ini Okaa-chan malah terlihat khawatir.
"Ah… tidak apa-apa, aku hanya sedikit… lelah," jawabku sedikit asal.
"Kalau begitu istirahatlah…" Kini aku mendapatkan pandangan khawatir dari ibu mertuaku. "Hinata…" Okaa-san tidak melanjutkan kalimatnya, beliau hanya mengerling kepada Hinata yang duduk di sampingku. Aku dapat melihat pipi Hinata yang memerah seperti biasa.
"Saya—err… kami akan pulang sekarang," ucapku sambil berdiri dari posisi enakku di sofa berlapis beludru coklat yang hangat itu. Otou-san tidak banyak bicara seperti biasa. Hinata dan Okaa-san sedikit terkejut. Kalau Okaa-chan malah mengernyitkan dahinya.
"Kenapa malam-malam begini? Katanya lelah?" tanya Okaa-san.
Aku hanya tidak mau tidur satu kamar lagi dengan Hinata. Sudah cukup aku tidur di sofa kamar Hinata selama tiga belas hari. Badanku masih terasa pegal sampai sekarang. Apa aku harus jujur untuk yang ini?
"Besok Naruto-kun harus bekerja, Okaa-san…"
Mungkin aku harus berterima kasih padamu, Hinata. Dari tadi kau selalu bisa menyelamatkanku di saat posisiku terjepit. Alasanmu sepertinya bisa diterima mereka semua, buktinya mereka hanya bungkam setelahnya. Oke, aku tidak peduli dengan semua itu. Aku hanya ingin segera pulang. Sekarang. Pembicaraan tadi membuat suasana hatiku menjadi buruk.
.
.
.
Hinata's point of view
~~~~~~~~~~~~~~
Kami—aku dan suamiku, Naruto-kun—sedang dalam perjalanan pulang ke rumah kami, lebih tepatnya rumah mungil dengan dua lantai yang dibeli Naruto-kun sebelum pernikahan kami satu tahun yang lalu. Pernikahan karena perjodohan bodoh orang tua kami sejak kami belum dilahirkan. Orang tua kami bersahabat, dan jika mereka memiliki anak yang berlainan jenis kelamin, maka mereka akan menjodohkan anak mereka, yaitu kami. Pernikahan yang sebenarnya sangat aku dambakan, tapi tidak pernah diharapkan Naruto-kun. Walaupun ini perjodohan, tapi aku sudah memiliki rasa kepada Naruto-kun sejak kami sama-sama duduk di bangku sekolah menengah. Sebelumnya aku memang tidak pernah tahu tentang perjodohan ini, tapi aku sudah lama menyukainya.
Entah apa yang membuatku tetap bertahan menjadi istrinya. Seorang istri yang tidak pernah disentuh suaminya sedikitpun. Selama ini, kami lebih sering diam. Kami hanya berbicara jika benar-benar sangat dibutuhkan. Setidaknya saat kami masih menjadi seorang pelajar, dia masih mau mengajakku bicara karena kami pernah menjadi teman sekelas. Tapi semenjak pernikahan ini, hubungan kami benar-benar buruk. Mungkin Naruto-kun sudah menceraikanku, jika aku tidak memohon untuk tetap mempertahankan pernikahan ini. Aku tidak ingin melepasnya. Mungkin aku memang egois. Tapi, aku benar-benar tidak ingin berpisah darinya. Untuk yang satu ini, aku berhak bersikap egois.
Aku tidak peduli jika aku dibenci dan dianggap mengganggu… menganggu hubungannya dengan kekasihnya yang hampir dinikahinya. Sampai sekarang, dia masih menjalin hubungan dengan perempuan yang menjadi kekasihnya… kekasihnya sejak ia duduk di bangku kuliah. Bahkan sampai pernikahan kami berumur lebih dari satu tahun, dia masih mempertahankan hubungan itu. Mungkin ini adalah konsekuensi yang harus kuterima karena menikah dengan laki-laki yang mencintai perempuan lain. Ini juga syarat darinya untukku, jika aku masih ingin menjadi istrinya. Aku harus menerimanya…
Karena aku mencintainya…
.
.
.
Normal pov
*********
"Sudah sampai," Suara datar Naruto membuyarkan lamunan Hinata.
Hinata melihat keluar jendela mobil Naruto. Ternyata memang sudah sampai di halaman sempit—yang hanya cukup untuk satu mobil—rumah mereka. Rumah yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah orang tua Naruto. Lebih tepatnya orang tua tunggal Naruto, yaitu ibu Naruto—Uzumaki Kushina. Karena ayah Naruto—Namikaze Minato—sudah meninggal sebelum Naruto dilahirkan. Karena itu, Kushina memberikan marganya untuk Naruto, bukan marga ayahnya.
Naruto yang melihat Hinata masih belum turun dari mobilnya, memutuskan untuk turun lebih dulu. Dengan kasar ia membuka pintu mobil dan menutupnya dengan dibanting, membuat Hinata yang masih berada di dalam tersentak kaget. Naruto dengan cepat melangkahkan kakinya ke dalam rumahnya. Hinata jadi mengira kalau Naruto sedang dalam emosi yang buruk saat ini. Sepertinya karena percakapan yang terjadi beberapa saat yang lalu di rumah orang tua Hinata.
Hinata turun dari mobil Naruto. Kemudian, ia masuk ke rumahnya dengan sedikit takut. Hinata menemukan Naruto sedang duduk di sofa orange ruang tamu. Kemeja yang semula rapi, kini terlihat berantakan dan beberapa kancing kemeja biru mudanya terbuka. Naruto hanya menunduk sambil meremas rambut kuningnya.
"Ka..kau kenapa?" tanya Hinata yang diliputi rasa takut.
"Apa pedulimu, hah?" balas Naruto sinis sambil menatap tajam Hinata.
"Kalau kau ada masalah, ceritakan padaku…" ucap Hinata seraya mendekat kepada Naruto.
Naruto berdiri dari duduknya dan menghadap Hinata. "Masalahku adalah kau! Kalau kau tidak pernah ada, aku pasti sudah bahagia!" bentak Naruto di depan muka Hinata.
Seketika mata Hinata berkaca-kaca. Hinata tahu, kalau ia tidak pernah dilahirkan, pasti perjodohan itu batal dan Naruto bisa dengan bebas memilih pasangan hidupnya. Perlahan air matanya sudah membasahi pipinya. Walaupun begitu, tidak ada rasa iba di hati Naruto untuk Hinata. Bahkan, Naruto masih memasang wajah dinginnya saat Hinata menangis di depannya.
"Aku tidak pernah mengharapkan pernikahan konyol ini! Aku lelah!"
"Kalau kau tidak menginginkannya, kenapa mengucapkan ikrar itu?" tanya Hinata dengan isak tangisnya.
"Aku terpaksa! Aku tidak bisa melawan Okaa-chan yang menjadi orang tua tunggalku! Berapa kali kau menanyakan tentang itu, hah? Aku bosan menjawabnya!" Naruto belum menurunkan suara tingginya.
Hinata memejamkan matanya karena takut melihat Naruto yang tidak lagi menahan amarahnya. "Maaf… maaf Naruto-kun…"
"Permintaan maafmu sama sekali tidak berguna," ujar Naruto seraya meninggalkan Hinata yang menangis sendirian di ruang tamu.
.
#~**~#
==>_| ~To Be Continued~
Disclaimer:
Naruto © Kishimoto Masashi
Unexpected Marriage © Äsking Namikaze
Warning: AU, OOC, TYPO(S), sinetron banget
Naruto, Hinata: 25 tahun
♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Naruto's point of view
~~~~~~~~~~~~~~
Aku dan err… istriku—Hinata—sedang berada di rumah mertuaku, yang berarti rumah orang tua Hinata. Kami kemari karena hari ini—delapan Januari—adalah hari ulang tahun ayah mertuaku, Hyūga Hiashi. Keluarga Hyūga sepertinya memang gemar sekali mengadakan pesta. Suasana meriah di kediaman Hyūga tidak surut sejak dirayakannya ulang tahun Hinata—dua puluh tujuh Desember—tahun lalu. Ya, tahun lalu karena sekarang 'kan sudah memasuki tahun baru.
Sebenarnya, aku dan Hinata sudah menginap di sini sejak sehari sebelum digelarnya pesta ulang tahun Hinata. Sejak saat itu, suasana di kediaman Hyūga selalu ramai. Pesta tahun baru juga begitu, banyak tamu yang datang, yang kebanyakan adalah teman-teman ayah mertuaku. Ibuku bahkan juga menginap di sini, dan baru pulang besok. Orang tuaku dan orang tua Hinata memang bersahabat, jadi tidak heran jika ibuku tidak merasa sungkan karena permintaan ibu Hinata yang sering mengajak ibuku untuk tinggal di kediaman Hyūga. Alasannya terkadang cukup sepele, butuh teman ngobrol. Sejak Hinata menikah denganku, ibu Hinata memang hanya tinggal berdua dengan suaminya. Jadi, menurutku ibu Hinata hanya kesepian. Padahal ibuku malah tinggal sendiri, tapi beliau tidak pernah mengeluh.
Dulu, waktu muda, ibuku adalah teman satu sekolah ibu Hinata. Saat itu, mereka juga tinggal satu flat, jadi mereka memang sangat akrab hingga saat ini. Persahabatan karib merekalah yang membuat diriku dan Hinata menjadi sepasang suami istri. Sepasang suami istri? Cih! Aku hanya menganggap Hinata sebagai teman satu rumah saja. Aku benar-benar tidak memiliki perasaan apapun kepadanya. Tidak ada cinta sedikitpun dalam hatiku untuknya. Padahal cinta sangat penting dalam sebuah hubungan sakral layaknya pernikahan.
Semakin aku mencoba untuk mencintai Hinata, semakin aku merasa jengkel kepadanya. Itu mungkin karena aku menganggapnya sebagai pengganggu hubunganku dengan kekasihku yang hampir kunikahi. Perempuan yang menjadi kekasihku sejak tiga tahun yang lalu. Untung saja ia masih mau berhubungan denganku setelah aku menikah dengan Hinata. Kalau tidak, aku pasti sudah menceraikan Hinata walaupun ia memohon atau bahkan bersujud di kakiku.
"… -kun… Naruto-kun…"
"A..apa?"
Entah sejak kapan Hinata memanggil namaku. Tapi sejak aku sadar kalau ia memanggilku, semua mata sudah mengarah kepadaku. Di ruang keluarga yang sudah sepi ini, hanya ada ayah dan ibu mertua, serta ibuku yang menatapku heran. Aku pasti terlihat melamun sejak tadi.
"Kapan?"
Apa maksud Okaa-chan dengan kapan? Memangnya tadi mereka membicarakan apa sih?
"A..apanya?" tanyaku sedikit kikuk. Kulihat Hinata hanya diam dengan wajah merona. Ayah dan ibu mertuaku seolah menunggu jawaban dariku. Kalau ibuku, melihatku sambil menggelengkan kepalanya pelan.
"Jadi, dari tadi kau tidak mendengarkan kami?" Okaa-chan menghela nafas lelah setelah mengatakannya.
"Gomen…" ucapku sambil sedikit tersenyum—yang sebenarnya kupaksakan.
"Aku tadi tanya, kapan kalian memberikan cucu pada kami?"
Oh… ternyata itu… Kenapa mendadak jadi bad mood, ya? Aku sama sekali tidak berminat dengan pembicaraan seperti ini. Apa yang harus kukatakan?
"Ka..kami menundanya."
Baguslah kalau kau bisa mencari alasan, Hinata. Aku benar-benar malas menjawabnya.
"Kenapa masih menunda-nunda?" Sekarang Okaa-san yang angkat bicara.
Ingin jawaban yang jujur? Kalau iya, aku bisa mengatakan kalau aku tidak mencintai Hinata. Jadi, aku sama sekali tidak tertarik padanya. Aku rasa, kalian semua bisa terkena serangan jantung setelah mendengarnya. Jadi, aku putuskan untuk mencari alasan yang… mungkin sedikit lebih baik dari itu.
"Hinata harus mengajar. Saya juga harus bekerja. Jadi—"
"Itu bukan alasan yang kuat, Naruto," potong Okaa-chan. "Hinata bisa cuti. Kalau Hinata harus mengajar lagi, kalian bisa menitipkan anak kalian pada kami."
Kulihat Okaa-san hanya mengangguk setuju dengan penuturan Okaa-chan.
"Jadi, tidak ada alasan lagi untuk menundanya," lanjut Okaa-chan.
Kenapa hidupku jadi diatur-atur sih? Apa karena aku dan Hinata sama-sama anak tunggal, jadi mereka begitu inginnya menimang cucu? Kalau tidak sabar, kenapa tidak mengadopsi bayi untuk dijadikan cucu?
"Kau dari tadi banyak diam, Naruto. Kenapa?" Saat ini Okaa-chan malah terlihat khawatir.
"Ah… tidak apa-apa, aku hanya sedikit… lelah," jawabku sedikit asal.
"Kalau begitu istirahatlah…" Kini aku mendapatkan pandangan khawatir dari ibu mertuaku. "Hinata…" Okaa-san tidak melanjutkan kalimatnya, beliau hanya mengerling kepada Hinata yang duduk di sampingku. Aku dapat melihat pipi Hinata yang memerah seperti biasa.
"Saya—err… kami akan pulang sekarang," ucapku sambil berdiri dari posisi enakku di sofa berlapis beludru coklat yang hangat itu. Otou-san tidak banyak bicara seperti biasa. Hinata dan Okaa-san sedikit terkejut. Kalau Okaa-chan malah mengernyitkan dahinya.
"Kenapa malam-malam begini? Katanya lelah?" tanya Okaa-san.
Aku hanya tidak mau tidur satu kamar lagi dengan Hinata. Sudah cukup aku tidur di sofa kamar Hinata selama tiga belas hari. Badanku masih terasa pegal sampai sekarang. Apa aku harus jujur untuk yang ini?
"Besok Naruto-kun harus bekerja, Okaa-san…"
Mungkin aku harus berterima kasih padamu, Hinata. Dari tadi kau selalu bisa menyelamatkanku di saat posisiku terjepit. Alasanmu sepertinya bisa diterima mereka semua, buktinya mereka hanya bungkam setelahnya. Oke, aku tidak peduli dengan semua itu. Aku hanya ingin segera pulang. Sekarang. Pembicaraan tadi membuat suasana hatiku menjadi buruk.
.
.
.
Hinata's point of view
~~~~~~~~~~~~~~
Kami—aku dan suamiku, Naruto-kun—sedang dalam perjalanan pulang ke rumah kami, lebih tepatnya rumah mungil dengan dua lantai yang dibeli Naruto-kun sebelum pernikahan kami satu tahun yang lalu. Pernikahan karena perjodohan bodoh orang tua kami sejak kami belum dilahirkan. Orang tua kami bersahabat, dan jika mereka memiliki anak yang berlainan jenis kelamin, maka mereka akan menjodohkan anak mereka, yaitu kami. Pernikahan yang sebenarnya sangat aku dambakan, tapi tidak pernah diharapkan Naruto-kun. Walaupun ini perjodohan, tapi aku sudah memiliki rasa kepada Naruto-kun sejak kami sama-sama duduk di bangku sekolah menengah. Sebelumnya aku memang tidak pernah tahu tentang perjodohan ini, tapi aku sudah lama menyukainya.
Entah apa yang membuatku tetap bertahan menjadi istrinya. Seorang istri yang tidak pernah disentuh suaminya sedikitpun. Selama ini, kami lebih sering diam. Kami hanya berbicara jika benar-benar sangat dibutuhkan. Setidaknya saat kami masih menjadi seorang pelajar, dia masih mau mengajakku bicara karena kami pernah menjadi teman sekelas. Tapi semenjak pernikahan ini, hubungan kami benar-benar buruk. Mungkin Naruto-kun sudah menceraikanku, jika aku tidak memohon untuk tetap mempertahankan pernikahan ini. Aku tidak ingin melepasnya. Mungkin aku memang egois. Tapi, aku benar-benar tidak ingin berpisah darinya. Untuk yang satu ini, aku berhak bersikap egois.
Aku tidak peduli jika aku dibenci dan dianggap mengganggu… menganggu hubungannya dengan kekasihnya yang hampir dinikahinya. Sampai sekarang, dia masih menjalin hubungan dengan perempuan yang menjadi kekasihnya… kekasihnya sejak ia duduk di bangku kuliah. Bahkan sampai pernikahan kami berumur lebih dari satu tahun, dia masih mempertahankan hubungan itu. Mungkin ini adalah konsekuensi yang harus kuterima karena menikah dengan laki-laki yang mencintai perempuan lain. Ini juga syarat darinya untukku, jika aku masih ingin menjadi istrinya. Aku harus menerimanya…
Karena aku mencintainya…
.
.
.
Normal pov
*********
"Sudah sampai," Suara datar Naruto membuyarkan lamunan Hinata.
Hinata melihat keluar jendela mobil Naruto. Ternyata memang sudah sampai di halaman sempit—yang hanya cukup untuk satu mobil—rumah mereka. Rumah yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah orang tua Naruto. Lebih tepatnya orang tua tunggal Naruto, yaitu ibu Naruto—Uzumaki Kushina. Karena ayah Naruto—Namikaze Minato—sudah meninggal sebelum Naruto dilahirkan. Karena itu, Kushina memberikan marganya untuk Naruto, bukan marga ayahnya.
Naruto yang melihat Hinata masih belum turun dari mobilnya, memutuskan untuk turun lebih dulu. Dengan kasar ia membuka pintu mobil dan menutupnya dengan dibanting, membuat Hinata yang masih berada di dalam tersentak kaget. Naruto dengan cepat melangkahkan kakinya ke dalam rumahnya. Hinata jadi mengira kalau Naruto sedang dalam emosi yang buruk saat ini. Sepertinya karena percakapan yang terjadi beberapa saat yang lalu di rumah orang tua Hinata.
Hinata turun dari mobil Naruto. Kemudian, ia masuk ke rumahnya dengan sedikit takut. Hinata menemukan Naruto sedang duduk di sofa orange ruang tamu. Kemeja yang semula rapi, kini terlihat berantakan dan beberapa kancing kemeja biru mudanya terbuka. Naruto hanya menunduk sambil meremas rambut kuningnya.
"Ka..kau kenapa?" tanya Hinata yang diliputi rasa takut.
"Apa pedulimu, hah?" balas Naruto sinis sambil menatap tajam Hinata.
"Kalau kau ada masalah, ceritakan padaku…" ucap Hinata seraya mendekat kepada Naruto.
Naruto berdiri dari duduknya dan menghadap Hinata. "Masalahku adalah kau! Kalau kau tidak pernah ada, aku pasti sudah bahagia!" bentak Naruto di depan muka Hinata.
Seketika mata Hinata berkaca-kaca. Hinata tahu, kalau ia tidak pernah dilahirkan, pasti perjodohan itu batal dan Naruto bisa dengan bebas memilih pasangan hidupnya. Perlahan air matanya sudah membasahi pipinya. Walaupun begitu, tidak ada rasa iba di hati Naruto untuk Hinata. Bahkan, Naruto masih memasang wajah dinginnya saat Hinata menangis di depannya.
"Aku tidak pernah mengharapkan pernikahan konyol ini! Aku lelah!"
"Kalau kau tidak menginginkannya, kenapa mengucapkan ikrar itu?" tanya Hinata dengan isak tangisnya.
"Aku terpaksa! Aku tidak bisa melawan Okaa-chan yang menjadi orang tua tunggalku! Berapa kali kau menanyakan tentang itu, hah? Aku bosan menjawabnya!" Naruto belum menurunkan suara tingginya.
Hinata memejamkan matanya karena takut melihat Naruto yang tidak lagi menahan amarahnya. "Maaf… maaf Naruto-kun…"
"Permintaan maafmu sama sekali tidak berguna," ujar Naruto seraya meninggalkan Hinata yang menangis sendirian di ruang tamu.
.
#~**~#
==>_| ~To Be Continued~
Itachi dan Sasuke
Judul : Itachi dan Sasuke
by : Khanief
"Tory, Tory, Tory! Tory cheese cracker! Tory cheese cracker!" terdengar suara dari layar televisi yang sedang ditonton oleh Itachi.
"Sumpah! Ni iklan parah banget!" gumam Itachi yang tetap menatap layar TV.
"Huh! Malas banget sih!" dengus Sasuke yang langsung loncat ke sofa dan duduk di samping Kakaknya.
"Oh, Otouto-ku sayang~ malam minggu ini ada rencana mau kemana nih?" tanya Itachi sambil mencubit pipi Sasuke.
"Apaan sih? Dasar pedofil! Memangnya kapan aku kemana-mana? Tentu saja aku bakalan di rumah!" balas Sasuke sinis.
"Ya ampun! Ini kan malam minggu? Masa setiap malam minggu kau tinggal di rumah terus? Sekedar kencan mungkin?" Itachi bertanya sambil membuka-buka Koran.
"Salahkan Mama dan Papa yang selalu nyuruh aku jaga rumah tiap weekend buat jenguk Kakek Madara di Oto! Aku jadi gak bisa kemana-mana!" kata Sasuke.
Ya, yang patut dipersalahkan adalah Kakek Madara yang minta dijenguk setiap weekend oleh Fugaku dan Mikoto-Papa dan Mama Sasuke-dengan alasan rindu pada keluarga. Padahal sih bukan karna rindu, tapi emang Kakek Madara gak punya uang dan menipisnya persediaan beras di rumahnya. Sasuke dan Itachi tahu itu. Cuma cucu durhaka yang berpikiran seperti ini!
"Nah loh? Nah loh? Baca nih, Sas!" ucap Itachi memperlihatkan koran yang dibacanya pada Sasuke.
"Seorang nenek-nenek usia 80 tahun diperkosa 3 orang preman!" ucap Itachi mulai membaca Koran tersebut.
"Kayak gak ada perawan lagi aja merkosa nenek-nenek!" kata Sasuke malas.
"Menurut polisi yang membawa nenek-nenek itu, saat dimintai keterangan, si nenek malah menjerit dan meronta-ronta minta…..tambah?" kata Itachi agak tersentak membacanya. Sasuke cuma bisa masang tampang cengo mendengarnya. Ternyata si neneknya juga sama aja!
"Tiga preman itu sampai sekarang masih buron. Dan menurut korban, ciri-ciri mereka adalah seorang pria berwajah mesum dengan pierching di seluruh wajahnya. Pria yang kedua menggunakan cadar, sedangkan yang satunya lagi memakai topeng orange seperti lollypop!" Itachi agak berpikir sejenak setelah membacanya. Rasanya ciri-ciri orang yang memperkosa nenek-nenek itu sangatlah mirip dengan ciri teman-temannya. Tapi siapa ya?
"Nah, Sas. Lain kali jangan pake lagi kimono putih yang memamerkan dada kamu yang sering kamu pake itu loh! Itu mengundang permasalahan, tau!" Itachi menasihati Sasuke.
"Jadi, aku kau samakan dengan nenek-nenek itu, hah?" sewot Sasuke.
"Nggak! Papa dan Mama dapet banyak teguran dari masyarakat Konoha, katanya anak-anak gadis mereka banyak yang kehabisan darah karna mimisan ngeliat kamu pake kimono itu!" jelas Itachi.
"Terus aku mesti gimana?" tanya Sasuke.
"Ya….itu tugas kamu buat cari solusinya!" kata Itachi tak bertanggung jawab. Sasuke hanya membuang muka mendengarnya.
"Ah, Iya! Aku sampai lupa! Aku kan harus pedicure dan medicure sekarang. Aku harus cepat-cepat telepon dia!" kata Itachi.
"Kau ini seperti perempuan saja, harus perawatan segala!" cibir Sasuke. Itachi mendelik.
"Ketahuilah wahai adikku yang bodoh. Uchiha itu dilahirkan untuk para gadis. Jadi sebagai Uchiha kita harus tetap menjaga keindahan tubuh agar tetap menjadi daya tarik para gadis-gadis itu! Setidaknya itu yang dibilang sama Papa!" kata Itachi berapi-api.
Rasanya Sasuke ingin muntah mendengar kata-kata barusan.
"Kau juga mau ikutan, Sas? Mungkin kau mau mencoba gaya rambut baru dengan cara rebonding sepertiku? Kau pasti bosan kan dengan gaya rambut pantat ayam kayak gitu kan?" kata Itachi.
"Enak aja! Udah susah-susah bikin rambut mencuat kayak gini dengan mengorbankan gel rambut Papa sampai habis, kau suruh di rebonding? Hah, tidak akan!" kata Sasuke mantap.
"Ya, aku kan cuma menawarkan doang!" kata Itachi.
Akhirnya karena bosan Sasuke memutuskan untuk kembali ke kamarnya di lantai atas.
Sasuke langsung mengambil Hp BlueBerry-coret-Bau Badan-coret-BB miliknya yang tergeletak di atas tempat tidurnya. Ternyata ada puluhan sms dan puluhan panggilan tak terjawab yang masuk.
Todoke todoke tookue he
Ima wo kishikaisei namida azukete
Belum sempat Sasuke membuka sms tersebut, BB-nya berbunyi. Terpampanglah nama 'Sakura Haruno' di layar BB-nya.
"Hallo?" Sasuke menjawab panggilan itu walau rasanya sangat malas.
"SASUKEEEEEE-KUN! Kenapa sms aku gak dibales sih? Aku kan udah ngirim pulsa ke no Sasuke-kun, supaya Sasuke-kun membalas sms dariku~" kata seseorang di seberang sana yang diketahui bernama Sakura.
"Aa…."
"OTOUTO..! Ada telepon nich!" kata-kata Sasuke terputus karna panggilan dari Itachi. Sasuke langsung turun ke bawah-masih tetap membawa BB-nya-
"Siapa?" tanya Sasuke pada Itachi.
"Cewek!" jawab Itachi singkat lalu dia masuk ke kamarnya.
"Hallo?"
"SASUKEEEEEE-KUN! Kenapa no Sasuke-kun sibuk terus? Jadinya aku nelpon ke no telpon rumah Sasuke-kun!" kata seseorang di seberang sana, kayaknya sih si Ino.
"Aa…"
"SASUKEEEEE..!" lagi-lagi perkataan Sasuke terpotong karna suara Itachi.
"Ada apa lagi?" tanya Sasuke sebal.
"KAU NGASIH NO TELEPONKU KE TEMAN PEREMPUANMU, HAH?" teriak Itachi pada Sasuke.
"He..he..i-itu.." Sasuke cuma bisa nyengir.
"Nih! Cewek lu nelepon!" kata Itachi sambil memberikan Hp-nya ke tangan Sasuke.
"Hallo?" Sasuke mendekatkan Hp Itachi ke telinganya.
"SASUKEEEE-KUN! Aku kira tadi Sasuke-kun yang ngangkat telepon dariku, tak tahunya Kak Itachi yah? Lumayan juga sih bisa ngomong sama Kak Itachi he..he..tapi aku tetep milih ngobrol sama Sasuke-kun!" dari suaranya sih, ini pasti si Karin.
/Loh? Kau…kau Karin yah?/
/Suara ini…ka-kau Ino yah?/
/Ngapain kalian berdua nelpon-nelpon Sasuke-kun, hah?/
/SAKURAAA?/
/Dasar! Aku kan duluan yang nelpon Sasuke-kun!/
/Enak aja! Aku yang duluan, tau!/
/Ino, bukannya kau sudah punya Sai? Kenapa masih gangguin Sasuke-kun, hah?/
/Kau sendiri bukannya sudah punya Rock Lee, Sakura?/
Sasuke bosan juga mendengar pertengkaran mereka bertiga. Dengan itu Sasuke lalu menjejerkan BB miliknya, Hp Itachi dan telepon rumahnya. Biarkan saja mereka mengobrol sepuasnya. Dan Sasuke langsung naik ke lantai atas, meninggalkan pertengkaran antartelepon itu.
Sementara itu di halaman belakang rumah Sasuke.
"Aduh, merepotkan! Kenapa aku harus di ajak ke tempat seperti ini sih?" gerutu Shikamaru yang merasa sebal karena disuruh mengendap-endap di balik semak-semak oleh Naruto.
"Ssstttt…jangan berisik, Shikamaru! Aku dapat informasi katanya Hinata mau datang ke rumahnya si Teme! Aku ingin memastikannya sendiri!" ucap Naruto. Mereka mulai mengendap-endap lagi ke dekat tembok terdekat.
"Aduh…"
"Sa-Sakura-chan?" Naruto kaget karna menabrak Sakura yang juga kelihatan mengendap-endap membelakanginya.
"Na-Naruto?" ucap Sakura tak kalah kaget.
"Sedang apa kau disini?" tanya Naruto berbisik.
"He..he.." Sakura cuma bisa nyengir.
"Akh! Sudahlah!" Naruto mengendap-endap lagi. Tapi kali ini dia merasa menginjak sesuatu.
"A-aduh…rambut indahku!" rintih seseorang.
"HAH..NEEEJI?" Naruto berteriak setelah mengetahui orang yang merintih itu adalah Neji.
"Psssssttttt…." Shikamaru, Sakura dan Neji meletakkan telunjuk mereka di bibir tanda agar Naruto jangan berisik.
"Se-sedang apa kau di sini?" selidik Naruto.
"Kau sendiri?" Neji balik bertanya.
"Akh! Sudahlah! Penjelasannya nanti saja!" Naruto mengendap-endap lagi, kali ini ke dekat semak-semak. Sedangkan Shikamaru, Sakura dan Neji mengekori Naruto dari belakang.
Duk!
"Aww!" seseorang mengelus keningnya yang bertubrukkan dengan kening Naruto.
"Aduh…Ka-karin?" Naruto sontak berteriak lagi.
"Psssttttt….." seru yang lainnya.
"Akh! Aku sudah bosan! Sebenarnya seberapa banyak orang yang bersembunyi di sini, HAH?" teriak Naruto sejadi-jadinya sambil mengacak-acak rambutnya.
Tak lama keluarlah Suigetsu dari atas genteng rumah, Hinata dari balik pohon, Sai yang menyamar jadi batu, Temari dari atas pohon jamblang, Lee yang menyamar jadi rumput karna bajunya hijau, Ino yang yang bersembunyi di kolam ikan Sasuke dan Tenten yang bersembunyi di tempat sampah. Mereka semua saling berpandangan dengan tatapan tidak percaya, ke arah pasangan masing-masing.
Ting! Tong! Ting! Ting! Tong! Tong!
Sasuke membuka pintu rumahnya dengan tergesa-gesa. Kemudian terlihatlah oleh Sasuke dua orang berdiri di hadapannya. Duo orang pria. Yang satu berambut panjang dan berkulit seputih kulit mayat dan bibirnya agak jontor. Sedangkan yang satunya lagi berambut perak dan memakai kacamata retak.
"Selamat malam. Apakah benar ini rumahnya Itachi Uchiha?" tanya seseorang yang berkacamata itu.
"Iya, benar? Siapa yah?" selidik Sasuke.
"Kami berdua dari 'Salon Snake' perawatan tubuh. Perkenalkan nama saya Orochimaru dan yang di sebelah saya ini, Yakushi Kabuto!" kata orang berambut panjang itu memperkenalkan diri pada pada Sasuke.
'Oh…jadi ini orang-orang dari salon yang dipanggil Aniki kemari. Hmmm….muka mereka kok pada cabul-cabul yah? Apalagi yang rambutnya panjang ini. Gila! Ini sih rajanya wajah cabul!' batin Sasuke.
"Maaf ya, Dek! Muka saya emang cabul, tapi saya paling benci kalo ada orang bilang muka saya cabul!" tebak Orochimaru tepat sasaran.
"OCIM?" seru Itachi yang nongol dari belakang Sasuke.
"Itachi-kun!" sahut Orochimaru.
"Akhirnya kau dateng juga! Sas, kenapa gak disuruh masuk sih?" tegur Itachi.
"Kau lupa pesan Mama! Kalo ada orang yang gak di kenal apalagi jelek, jangan dibiarin masuk!" kata Sasuke.
"Hohohoho….siapa anak laki-laki tampan yang patut digiles bulldozer ini, Itachi-kun?" Orochimaru bertanya pada Itachi.
"Dia Otouto-ku! Namanya Sasuke!" jawab Itachi.
"Oh, adiknya Itachi-kun yah? Hmm…pantesan mirip!" ucap Orochimaru memperhatikan wajah Sasuke.
"Apa liat-liat? Jangan bilang lu suka ama gue?" tebak Sasuke yang kali ini juga tepat sasaran.
Sedetik kemudian Sasuke langsung mengutuk bibirnya yang comel itu. Sedangkan Orochimaru menjulurkan lidahnya. Gila! Lidahnya panjang banget! Sampe nyentuh lantai. Sasuke tak habis pikir kenapa Anikinya bisa jadi langganan orang macam beginian.
"Ayo masuk, Ocim, Kabuto!" Itachi mempersilakan mereka berdua masuk.
Sementara itu di belakang rumah Sasuke.
"Owh~ bagus yah! Sekarang mulai main belakang nih ceritanya!" kata Naruto pada Hinata.
"Eng…i-itu…Na-Naruto-kun…" Hinata gugup sambil memberikan sebuket bunga pada Naruto.
"Gak usah ngasih bunga! Setiap salah pasti ngasih bunga!" sewot Naruto.
Beda ceritanya kalau Hinata ngasih ramen ke Naruto.
"Hu..hu...kau jahat Sakura-chan! Padahal kau yang duluan nembak aku, tapi kenapa kau masih juga mengejar-ngejar Uchiha, hah?" ucap Lee menutup wajahnya karena menangis.
"Su-sudah Lee…maafkan aku. Aku janji tidak akan mengejar-ngejar Sasuke lagi deh! Lee kan lebih ganteng dari Sasuke~" hibur Sakura.
"Terima kasih Sakura-chan, aku tahu kau bohong!" kata Lee. Sementara Sakura tidak bisa berkata apa-apa lagi.
"Hmm…bagus yah! Rupanya Nenekmu tinggal di sini yah?" sindir Neji pada Tenten.
"Hehe…ih, Neji gitu deh! Aku kan cuma ikut-ikutan Hinata aja!" bela Tenten.
"Dasar pembohong! Aku tuh gak dateng ke rumah kamu karena kamu kemarin bilang mau sekeluarga ngejenguk Nenek kamu di desa! Tapi tadi waktu di jalan, aku ketemu adik kamu yang bilang kalo Nenek kamu tuh udah meninggal!" kata Neji.
"Aa….maaf deh, Neji!" ucap Tenten.
"Suigetsu! Kenapa kau ada di sini sih? Kau buntutin aku yah?" sewot Karin.
"Aku yang harusnya tanya begitu! Sasuke nelepon aku, katanya kamu neleponin dia terus. Bener gak, hah?" kata Suigetsu.
"Kalo iya memangnya kenapa? Aku emang masih cinta sama Sasuke-kun kok!" kata-kata Karin begitu menusuk.
Seketika itu, Suigetsu serasa membeku di tempat. Kalo digetok pake palu pasti langsung hancur berkeping-keping.
"Oh, jadi ini yah alasannya aku jangan ngapel ke rumah kamu malam minggu? Kamu mau malam mingguan sama Sasuke, sedangkan aku kau suruh ngapel ke rumahmu malam jumat!" kata Sai yang tersenyum pada Ino.
"Ehe..he.." Ino cuma bisa nyengir.
Bayangkan Sai yang dateng malam jumat ke rumah Ino. Wajahnya yang seputih mayat membuat ayah Ino tidak mempercayai kalau Sai adalah manusia. Dia menyangka Sai adalah setan dan langsung mengusirnya dan berkata agar dia kembali ke alamnya.
"Tadinya aku males banget di suruh sama Naruto nemenin dia dateng ke sini. Tapi dengan ini aku bersyukur, aku bisa ketemu kamu di sini! Ngapain kamu malem minggu ke rumah Uchiha, hah?" bentak Shikamaru pada Temari.
"Rupanya kau sudah bosan denganku yah sampai-sampai mencari brondong segala! Sasuke itu kan terlau muda untukmu!" tambah Shikamaru.
"Habisnya, tiap kali malam mingguan kau selalu saja tidur. Membuat aku ngobrol sendiri. Jadinya aku cari pengganti kamu!" balas Temari.
Ya, begitulah mereka terus bertengkar saling menyalahkan pasangan masing-masing. Sampai membuat gaduh ke rumah Sasuke.
"Ada ribut-ribut apa sih di luar?" Kabuto yang sedang mengecat kuku Itachi mulai bertanya.
"Ya paling….kucing tetangga yang lagi pacaran! Sekarang kan malam minggu!" ucap Itachi enteng.
"Aku tidak tahu, kenapa gadis-gadis di Konoha ini begitu kuat-kuat. Apakah mereka tumbuh dengan memakan jamur beracun daripada meminum susu?" tanya Orochimaru yang sedang memijat kaki Sasuke di baskom berisi air hangat.
"Maksud loe?" ucap Sasuke dan Itachi bersamaan.
"Tadi aku cuma nanya ke salah seorang dari mereka dimana rumah Uchiha, tapi tiba-tiba mereka langsung mengeroyokku dan Kabuto. Hingga bibirku jadi jontor begini! Hiks!" kenang Orochimaru.
"Tentu aja kita dikeroyok! Tuan Orochimaru nanya ke mereka sambil pegang pantat mereka, gimana mereka gak marah!" kata Kabuto yang juga kena imbasnya. Padahal dia gak ikutan pegang. Tahu begini dia sekalian aja pegang juga!
"Pantesan aja~" ucap Itachi malas
by : Khanief
"Tory, Tory, Tory! Tory cheese cracker! Tory cheese cracker!" terdengar suara dari layar televisi yang sedang ditonton oleh Itachi.
"Sumpah! Ni iklan parah banget!" gumam Itachi yang tetap menatap layar TV.
"Huh! Malas banget sih!" dengus Sasuke yang langsung loncat ke sofa dan duduk di samping Kakaknya.
"Oh, Otouto-ku sayang~ malam minggu ini ada rencana mau kemana nih?" tanya Itachi sambil mencubit pipi Sasuke.
"Apaan sih? Dasar pedofil! Memangnya kapan aku kemana-mana? Tentu saja aku bakalan di rumah!" balas Sasuke sinis.
"Ya ampun! Ini kan malam minggu? Masa setiap malam minggu kau tinggal di rumah terus? Sekedar kencan mungkin?" Itachi bertanya sambil membuka-buka Koran.
"Salahkan Mama dan Papa yang selalu nyuruh aku jaga rumah tiap weekend buat jenguk Kakek Madara di Oto! Aku jadi gak bisa kemana-mana!" kata Sasuke.
Ya, yang patut dipersalahkan adalah Kakek Madara yang minta dijenguk setiap weekend oleh Fugaku dan Mikoto-Papa dan Mama Sasuke-dengan alasan rindu pada keluarga. Padahal sih bukan karna rindu, tapi emang Kakek Madara gak punya uang dan menipisnya persediaan beras di rumahnya. Sasuke dan Itachi tahu itu. Cuma cucu durhaka yang berpikiran seperti ini!
"Nah loh? Nah loh? Baca nih, Sas!" ucap Itachi memperlihatkan koran yang dibacanya pada Sasuke.
"Seorang nenek-nenek usia 80 tahun diperkosa 3 orang preman!" ucap Itachi mulai membaca Koran tersebut.
"Kayak gak ada perawan lagi aja merkosa nenek-nenek!" kata Sasuke malas.
"Menurut polisi yang membawa nenek-nenek itu, saat dimintai keterangan, si nenek malah menjerit dan meronta-ronta minta…..tambah?" kata Itachi agak tersentak membacanya. Sasuke cuma bisa masang tampang cengo mendengarnya. Ternyata si neneknya juga sama aja!
"Tiga preman itu sampai sekarang masih buron. Dan menurut korban, ciri-ciri mereka adalah seorang pria berwajah mesum dengan pierching di seluruh wajahnya. Pria yang kedua menggunakan cadar, sedangkan yang satunya lagi memakai topeng orange seperti lollypop!" Itachi agak berpikir sejenak setelah membacanya. Rasanya ciri-ciri orang yang memperkosa nenek-nenek itu sangatlah mirip dengan ciri teman-temannya. Tapi siapa ya?
"Nah, Sas. Lain kali jangan pake lagi kimono putih yang memamerkan dada kamu yang sering kamu pake itu loh! Itu mengundang permasalahan, tau!" Itachi menasihati Sasuke.
"Jadi, aku kau samakan dengan nenek-nenek itu, hah?" sewot Sasuke.
"Nggak! Papa dan Mama dapet banyak teguran dari masyarakat Konoha, katanya anak-anak gadis mereka banyak yang kehabisan darah karna mimisan ngeliat kamu pake kimono itu!" jelas Itachi.
"Terus aku mesti gimana?" tanya Sasuke.
"Ya….itu tugas kamu buat cari solusinya!" kata Itachi tak bertanggung jawab. Sasuke hanya membuang muka mendengarnya.
"Ah, Iya! Aku sampai lupa! Aku kan harus pedicure dan medicure sekarang. Aku harus cepat-cepat telepon dia!" kata Itachi.
"Kau ini seperti perempuan saja, harus perawatan segala!" cibir Sasuke. Itachi mendelik.
"Ketahuilah wahai adikku yang bodoh. Uchiha itu dilahirkan untuk para gadis. Jadi sebagai Uchiha kita harus tetap menjaga keindahan tubuh agar tetap menjadi daya tarik para gadis-gadis itu! Setidaknya itu yang dibilang sama Papa!" kata Itachi berapi-api.
Rasanya Sasuke ingin muntah mendengar kata-kata barusan.
"Kau juga mau ikutan, Sas? Mungkin kau mau mencoba gaya rambut baru dengan cara rebonding sepertiku? Kau pasti bosan kan dengan gaya rambut pantat ayam kayak gitu kan?" kata Itachi.
"Enak aja! Udah susah-susah bikin rambut mencuat kayak gini dengan mengorbankan gel rambut Papa sampai habis, kau suruh di rebonding? Hah, tidak akan!" kata Sasuke mantap.
"Ya, aku kan cuma menawarkan doang!" kata Itachi.
Akhirnya karena bosan Sasuke memutuskan untuk kembali ke kamarnya di lantai atas.
Sasuke langsung mengambil Hp BlueBerry-coret-Bau Badan-coret-BB miliknya yang tergeletak di atas tempat tidurnya. Ternyata ada puluhan sms dan puluhan panggilan tak terjawab yang masuk.
Todoke todoke tookue he
Ima wo kishikaisei namida azukete
Belum sempat Sasuke membuka sms tersebut, BB-nya berbunyi. Terpampanglah nama 'Sakura Haruno' di layar BB-nya.
"Hallo?" Sasuke menjawab panggilan itu walau rasanya sangat malas.
"SASUKEEEEEE-KUN! Kenapa sms aku gak dibales sih? Aku kan udah ngirim pulsa ke no Sasuke-kun, supaya Sasuke-kun membalas sms dariku~" kata seseorang di seberang sana yang diketahui bernama Sakura.
"Aa…."
"OTOUTO..! Ada telepon nich!" kata-kata Sasuke terputus karna panggilan dari Itachi. Sasuke langsung turun ke bawah-masih tetap membawa BB-nya-
"Siapa?" tanya Sasuke pada Itachi.
"Cewek!" jawab Itachi singkat lalu dia masuk ke kamarnya.
"Hallo?"
"SASUKEEEEEE-KUN! Kenapa no Sasuke-kun sibuk terus? Jadinya aku nelpon ke no telpon rumah Sasuke-kun!" kata seseorang di seberang sana, kayaknya sih si Ino.
"Aa…"
"SASUKEEEEE..!" lagi-lagi perkataan Sasuke terpotong karna suara Itachi.
"Ada apa lagi?" tanya Sasuke sebal.
"KAU NGASIH NO TELEPONKU KE TEMAN PEREMPUANMU, HAH?" teriak Itachi pada Sasuke.
"He..he..i-itu.." Sasuke cuma bisa nyengir.
"Nih! Cewek lu nelepon!" kata Itachi sambil memberikan Hp-nya ke tangan Sasuke.
"Hallo?" Sasuke mendekatkan Hp Itachi ke telinganya.
"SASUKEEEE-KUN! Aku kira tadi Sasuke-kun yang ngangkat telepon dariku, tak tahunya Kak Itachi yah? Lumayan juga sih bisa ngomong sama Kak Itachi he..he..tapi aku tetep milih ngobrol sama Sasuke-kun!" dari suaranya sih, ini pasti si Karin.
/Loh? Kau…kau Karin yah?/
/Suara ini…ka-kau Ino yah?/
/Ngapain kalian berdua nelpon-nelpon Sasuke-kun, hah?/
/SAKURAAA?/
/Dasar! Aku kan duluan yang nelpon Sasuke-kun!/
/Enak aja! Aku yang duluan, tau!/
/Ino, bukannya kau sudah punya Sai? Kenapa masih gangguin Sasuke-kun, hah?/
/Kau sendiri bukannya sudah punya Rock Lee, Sakura?/
Sasuke bosan juga mendengar pertengkaran mereka bertiga. Dengan itu Sasuke lalu menjejerkan BB miliknya, Hp Itachi dan telepon rumahnya. Biarkan saja mereka mengobrol sepuasnya. Dan Sasuke langsung naik ke lantai atas, meninggalkan pertengkaran antartelepon itu.
Sementara itu di halaman belakang rumah Sasuke.
"Aduh, merepotkan! Kenapa aku harus di ajak ke tempat seperti ini sih?" gerutu Shikamaru yang merasa sebal karena disuruh mengendap-endap di balik semak-semak oleh Naruto.
"Ssstttt…jangan berisik, Shikamaru! Aku dapat informasi katanya Hinata mau datang ke rumahnya si Teme! Aku ingin memastikannya sendiri!" ucap Naruto. Mereka mulai mengendap-endap lagi ke dekat tembok terdekat.
"Aduh…"
"Sa-Sakura-chan?" Naruto kaget karna menabrak Sakura yang juga kelihatan mengendap-endap membelakanginya.
"Na-Naruto?" ucap Sakura tak kalah kaget.
"Sedang apa kau disini?" tanya Naruto berbisik.
"He..he.." Sakura cuma bisa nyengir.
"Akh! Sudahlah!" Naruto mengendap-endap lagi. Tapi kali ini dia merasa menginjak sesuatu.
"A-aduh…rambut indahku!" rintih seseorang.
"HAH..NEEEJI?" Naruto berteriak setelah mengetahui orang yang merintih itu adalah Neji.
"Psssssttttt…." Shikamaru, Sakura dan Neji meletakkan telunjuk mereka di bibir tanda agar Naruto jangan berisik.
"Se-sedang apa kau di sini?" selidik Naruto.
"Kau sendiri?" Neji balik bertanya.
"Akh! Sudahlah! Penjelasannya nanti saja!" Naruto mengendap-endap lagi, kali ini ke dekat semak-semak. Sedangkan Shikamaru, Sakura dan Neji mengekori Naruto dari belakang.
Duk!
"Aww!" seseorang mengelus keningnya yang bertubrukkan dengan kening Naruto.
"Aduh…Ka-karin?" Naruto sontak berteriak lagi.
"Psssttttt….." seru yang lainnya.
"Akh! Aku sudah bosan! Sebenarnya seberapa banyak orang yang bersembunyi di sini, HAH?" teriak Naruto sejadi-jadinya sambil mengacak-acak rambutnya.
Tak lama keluarlah Suigetsu dari atas genteng rumah, Hinata dari balik pohon, Sai yang menyamar jadi batu, Temari dari atas pohon jamblang, Lee yang menyamar jadi rumput karna bajunya hijau, Ino yang yang bersembunyi di kolam ikan Sasuke dan Tenten yang bersembunyi di tempat sampah. Mereka semua saling berpandangan dengan tatapan tidak percaya, ke arah pasangan masing-masing.
Ting! Tong! Ting! Ting! Tong! Tong!
Sasuke membuka pintu rumahnya dengan tergesa-gesa. Kemudian terlihatlah oleh Sasuke dua orang berdiri di hadapannya. Duo orang pria. Yang satu berambut panjang dan berkulit seputih kulit mayat dan bibirnya agak jontor. Sedangkan yang satunya lagi berambut perak dan memakai kacamata retak.
"Selamat malam. Apakah benar ini rumahnya Itachi Uchiha?" tanya seseorang yang berkacamata itu.
"Iya, benar? Siapa yah?" selidik Sasuke.
"Kami berdua dari 'Salon Snake' perawatan tubuh. Perkenalkan nama saya Orochimaru dan yang di sebelah saya ini, Yakushi Kabuto!" kata orang berambut panjang itu memperkenalkan diri pada pada Sasuke.
'Oh…jadi ini orang-orang dari salon yang dipanggil Aniki kemari. Hmmm….muka mereka kok pada cabul-cabul yah? Apalagi yang rambutnya panjang ini. Gila! Ini sih rajanya wajah cabul!' batin Sasuke.
"Maaf ya, Dek! Muka saya emang cabul, tapi saya paling benci kalo ada orang bilang muka saya cabul!" tebak Orochimaru tepat sasaran.
"OCIM?" seru Itachi yang nongol dari belakang Sasuke.
"Itachi-kun!" sahut Orochimaru.
"Akhirnya kau dateng juga! Sas, kenapa gak disuruh masuk sih?" tegur Itachi.
"Kau lupa pesan Mama! Kalo ada orang yang gak di kenal apalagi jelek, jangan dibiarin masuk!" kata Sasuke.
"Hohohoho….siapa anak laki-laki tampan yang patut digiles bulldozer ini, Itachi-kun?" Orochimaru bertanya pada Itachi.
"Dia Otouto-ku! Namanya Sasuke!" jawab Itachi.
"Oh, adiknya Itachi-kun yah? Hmm…pantesan mirip!" ucap Orochimaru memperhatikan wajah Sasuke.
"Apa liat-liat? Jangan bilang lu suka ama gue?" tebak Sasuke yang kali ini juga tepat sasaran.
Sedetik kemudian Sasuke langsung mengutuk bibirnya yang comel itu. Sedangkan Orochimaru menjulurkan lidahnya. Gila! Lidahnya panjang banget! Sampe nyentuh lantai. Sasuke tak habis pikir kenapa Anikinya bisa jadi langganan orang macam beginian.
"Ayo masuk, Ocim, Kabuto!" Itachi mempersilakan mereka berdua masuk.
Sementara itu di belakang rumah Sasuke.
"Owh~ bagus yah! Sekarang mulai main belakang nih ceritanya!" kata Naruto pada Hinata.
"Eng…i-itu…Na-Naruto-kun…" Hinata gugup sambil memberikan sebuket bunga pada Naruto.
"Gak usah ngasih bunga! Setiap salah pasti ngasih bunga!" sewot Naruto.
Beda ceritanya kalau Hinata ngasih ramen ke Naruto.
"Hu..hu...kau jahat Sakura-chan! Padahal kau yang duluan nembak aku, tapi kenapa kau masih juga mengejar-ngejar Uchiha, hah?" ucap Lee menutup wajahnya karena menangis.
"Su-sudah Lee…maafkan aku. Aku janji tidak akan mengejar-ngejar Sasuke lagi deh! Lee kan lebih ganteng dari Sasuke~" hibur Sakura.
"Terima kasih Sakura-chan, aku tahu kau bohong!" kata Lee. Sementara Sakura tidak bisa berkata apa-apa lagi.
"Hmm…bagus yah! Rupanya Nenekmu tinggal di sini yah?" sindir Neji pada Tenten.
"Hehe…ih, Neji gitu deh! Aku kan cuma ikut-ikutan Hinata aja!" bela Tenten.
"Dasar pembohong! Aku tuh gak dateng ke rumah kamu karena kamu kemarin bilang mau sekeluarga ngejenguk Nenek kamu di desa! Tapi tadi waktu di jalan, aku ketemu adik kamu yang bilang kalo Nenek kamu tuh udah meninggal!" kata Neji.
"Aa….maaf deh, Neji!" ucap Tenten.
"Suigetsu! Kenapa kau ada di sini sih? Kau buntutin aku yah?" sewot Karin.
"Aku yang harusnya tanya begitu! Sasuke nelepon aku, katanya kamu neleponin dia terus. Bener gak, hah?" kata Suigetsu.
"Kalo iya memangnya kenapa? Aku emang masih cinta sama Sasuke-kun kok!" kata-kata Karin begitu menusuk.
Seketika itu, Suigetsu serasa membeku di tempat. Kalo digetok pake palu pasti langsung hancur berkeping-keping.
"Oh, jadi ini yah alasannya aku jangan ngapel ke rumah kamu malam minggu? Kamu mau malam mingguan sama Sasuke, sedangkan aku kau suruh ngapel ke rumahmu malam jumat!" kata Sai yang tersenyum pada Ino.
"Ehe..he.." Ino cuma bisa nyengir.
Bayangkan Sai yang dateng malam jumat ke rumah Ino. Wajahnya yang seputih mayat membuat ayah Ino tidak mempercayai kalau Sai adalah manusia. Dia menyangka Sai adalah setan dan langsung mengusirnya dan berkata agar dia kembali ke alamnya.
"Tadinya aku males banget di suruh sama Naruto nemenin dia dateng ke sini. Tapi dengan ini aku bersyukur, aku bisa ketemu kamu di sini! Ngapain kamu malem minggu ke rumah Uchiha, hah?" bentak Shikamaru pada Temari.
"Rupanya kau sudah bosan denganku yah sampai-sampai mencari brondong segala! Sasuke itu kan terlau muda untukmu!" tambah Shikamaru.
"Habisnya, tiap kali malam mingguan kau selalu saja tidur. Membuat aku ngobrol sendiri. Jadinya aku cari pengganti kamu!" balas Temari.
Ya, begitulah mereka terus bertengkar saling menyalahkan pasangan masing-masing. Sampai membuat gaduh ke rumah Sasuke.
"Ada ribut-ribut apa sih di luar?" Kabuto yang sedang mengecat kuku Itachi mulai bertanya.
"Ya paling….kucing tetangga yang lagi pacaran! Sekarang kan malam minggu!" ucap Itachi enteng.
"Aku tidak tahu, kenapa gadis-gadis di Konoha ini begitu kuat-kuat. Apakah mereka tumbuh dengan memakan jamur beracun daripada meminum susu?" tanya Orochimaru yang sedang memijat kaki Sasuke di baskom berisi air hangat.
"Maksud loe?" ucap Sasuke dan Itachi bersamaan.
"Tadi aku cuma nanya ke salah seorang dari mereka dimana rumah Uchiha, tapi tiba-tiba mereka langsung mengeroyokku dan Kabuto. Hingga bibirku jadi jontor begini! Hiks!" kenang Orochimaru.
"Tentu aja kita dikeroyok! Tuan Orochimaru nanya ke mereka sambil pegang pantat mereka, gimana mereka gak marah!" kata Kabuto yang juga kena imbasnya. Padahal dia gak ikutan pegang. Tahu begini dia sekalian aja pegang juga!
"Pantesan aja~" ucap Itachi malas
Alur cerita Naruto 579
Alur cerita Naruto 579 : Saudara Bertarung Bersama
Disclaimer : Masashi Kishimoto
Itachi bersaudara akhirnya bersatu dalam Pertarungan .
Akhirnya Itachi menemukan Kabuto ditempat
tersembunyi, namun Sasuke yang membuntuti
kakaknya hingga menemui Kabuto juga, sejenak
perdebatan, diputuskan Sasuke akan bergabung
dengan Itachi melawan Kabuto, Itachi bermaksud
menghentikan teknik Edo Tensei yang kini menguasai
perang disamping Tobi dengan menggunakan
Tsukuyomi Sasuke dan Itachi nampak terkejut dengan
kekuatan aneh Kabuto .Sejumlah ular putih mengelilingi
tubuhnya...
"greepp"
Mengetaui rencana Itachi Kabuto pun menutupi
matanya dengan jubahnya kabuto : sebagai orang
yang pemalu, aku tak akan menatap orang lain
itachi : hati hati sasuke sepertinya ular-ular itu mampu
mengetahui keberadaan kita sasuke yang pernah
mengalaminya tau betul ular ular yang ada disekeliling
mereka
sasuke : ular mampu merasakan sesuatu melalui suhu
dan mereka mampu melakukannya dengan perasaan
dan penciuman mereka yang lewat dalam mulutnya..
itachi : kau rupanya telah belajar banyak.. Dokter Ular...
( memuji sasuke)
sasuke : aku melakukan banyak percobaan untuk
mengalahkan Orochimaru ( sasuke mengaktifkan
Eternal Mangekyou Sharingannya)
kabuto : ini arena ku.. alam berpihak padaku.., tapi kau
juga tak akan mengalahkanku dengan menjadi Doktor
Ular ........sshhhhh....
sasuke : ularnya bertambah besar
itachi : keuntungan tempat..., mungkin ini jebakan...
Sasuke
kabuto : sebuah jebakan? kupikir tidak
(Kabuto merepal tangan, perlahan ular-ular di
sekitarnya semakin besar)
...."Hsss!!!!!! !...".... Jrakkkk!!!!... Tanpa diduga sejumlah ular
Kabuto yang besar menyerang Sasuke dan Itachi...,
batu batu pun berhamburan..
..."Kreeeeettt. ..Kreettttt", nampak Susano'o Itachi
memegang erat ular Kabuto..... Sementara itu..
...tetesan darah ular didepan Sasuke dalam Susano'o
juga..., 2 ular yang menyerangnya telah terpenggal...
kabuto :jadi inilah Susano'o
itachi : jangan terlalu kasar Sasuke,.. Ingat kita tdak
membunuhnya
sasuke : dia itu memiliki kemampuan Orochimaru, dan
tdak akan mudah dikalahkan
..Greeett!!... Itachi menarik ular Kabuto...
.."wusshh...",dengan cepat lengan Susano'o diatas
kepala Kabuto, sasuke : dia didalam jubah ini ya
itachi : Sasuke ( mulai kawatir dengan tindakan
sasuke )
..tak terduga, dibalik Jubah yang Sasuke tarik,, ternyata
malah sejumlah ular,... ....Itachi pun masih memegang
ular putih besar itu dengan tangan-tangan
Susano'onya..
....zruuuttt... zruuttt!!!!!... . Ular-ular Kabuto kabur
berhamburan..., ...
"shiiingg...",tatapan mata Sasuke menyadari ular
terakhir dan langsung melemparkan pedangnya dan
tepat menembus ekor ular tersebut,...
"jrass...", tapi ular itu mengorbankan ekornya.. Akhirnya
ekornya pun terbelah..
sasuke : kau bukan pemalu..., kau menyembunyikan
tubuhmu, tdak hanya kepalamu apa kau mengganti
kulitmu untuk kabur? kelihatannya kau tdak lebih dari
sepotong kecil yang ditinggalkan Orochimaru
kabuto : Sasuke jangan meremehkanku.. Walaupun
benar ada upah untuk menangkapku lebih berguna dari
pada kau.. Tidak menyebutkan perbandingan dengan
Orochimaru
itachi : hati hati Sasuke, ada banyak chakra, tapi aku
tak dapat menemukannya yang asli
kabuto : ini teknik yang aku ciptakan setelah pecobaan
dan mengubah.. Kemampuan berubahklan Hozuki.. Ini
kemampuan untuk merubah tubuh menjadi caiiran, aku
menggunakan cairan tubuhku untuk mengeluarkan
teknik ini, jadi mirip seperti ganti kulit
Dan juga, ular yang dipegang Susano'o itachi pun
mencair..
kabuto : dia mampu berubah dari manusia ke air,, dan
air ke manusia,, itu Suigetsu, bukankah kau tahu?... Di
samping itu aku juga punya kemampuan
penyembuhan yang mengesankan.... .yang aku dapat
dari tubuh perempuan clan Uzumaki, setelah aku
mempelajari tubuhnya
Sasuke teringat pada rekannya
Kabuto : Itu adalah teman lamamu, Karin
(Sasuke mebayangkan Karin)
sasuke : apakah dia dari klan uzumaki?
kabuto : orang dari klan uzumaki semuanya
mempunyai rambut berwarna merah (nagato,
kushinadan Karin )
memiliki kekuatan yang sangat kuat dalam hidup kau
mungkin ingin tahu apa yang sudah aku lakukan
kepada temanmu ? tidak...dia bukan temanmu
sekarang, benarkah? ( kabuto dalam bentuk
ular, sasuke teringat akan juugo)
kabuto : bagaimanapun, karna kau telah memilih 3
orang, kau benar-benar memiliki selera yang bagus
Sasuke terlihat kesal
kabuto : di dunia ninja jika seseorang tidak memiliki
bakat, bahkan keberadaannya pun akan di tolak.hanya
pergi mengambilnya dari orang lain dan membuat
kau ? (masih dalam bentuk ular) “
sauke : tampaknya kau juga memilki kekuatan yang
sama seperti juugo... kau diserang oleh segel kutukan
dari Orochimaru?
kabuto :Tidak... itu hanya trik. hanya kemampuan
seperti itu dapat diperoleh dengan berlatih sendiri... di
Ryuchidou (gua naga )
kabuto menampakan dirinya diantara pepohonan
itachi : Ryuchidou!? Tidak mungkin. ( tak percaya
dengan kabuto )
kabuto : Aku akhirnya menemukannya... ! itu adalah
tempat legenda yang sama terkenalnya dengan
Myoubokuzan dan Shikkotsurin Bukan hanya
orochimaru, aku juga memimpikan untuk pergi ke sana
juga! Tambah Kabuto
Sasuke terlihat bingung akan perkataan Kabuto
Lalu terlihatlah Ryuchidou (Gua Naga) di mana tempat
Kabuto memperoleh kekuatan sage
kabuto : Di bawah bimbingan sage ular putih, aku
melatih diriku dan memperoleh kekuatannya ! Aku
akhirnya melampaui orochimaru.
kabuto mengeluarkan tangannya bersiap menyerang
wussssshhhhhhh
Lalu Sasuke dengan sigap menggunakan panah
susanoo dengan kecepatan tinggi dan menyerang
Kabuto
itachi : Jangan buru-buru, Sasuke
Itachi memarahi sasuke karna niat Sasuke yang ingin
cepat membunuh Kabuto
Lalu tersentak terlihat panah susanoo Sasuke di hindari
dan mengenai batang pohon
sasuke : panah susanoo ku... di hindari
Sasuke merasa tak percaya dan terkejut
kabuto : kemampuan persepsi telah ku tingkatkan.. aku
selalu mempunyai kekuatan alam untuk melindungiku
itachi : kekuatan alam... orang ini...aku benar
kabuto : biarkan aku menceritakan sesuatu... orang
klan dari juugo mempunyai tubuh spesial. Mereka
dapat menyerap kekuatan alam itulah alasan dia sering
mengamuk. jawaban mengapa kekuataannya selalu
keluar tanpa kendali dan secara tiba-tiba Orochimaru
tidak hanya peduli mengapa juugo mengamuk.. ia juga
terus memperhatikan sumber kemampuan klannya dan
menyelidikinya Dia akhirnya menemukan dari mana
sumber kemampuannya berasal.. itulah Ryuchidou
orochimaru mencoba mendapatkan kemampuannya
segera... tapi, ia tidak menemukan tubuh yang cocok
untuk menanggung kemampuan tersebut.. jadi
Kabuto keluar dari ular tersebut
Sretttttttttt kabuto akhirnya keluardari ularnya
kabuto : bahkan pada akhirnya ia tidak bisa menjadi
sage sepertiku
Kabuto akhirnya mucul
itachi : aku melihatnya.. ini sungguh-sungguh ( kaget
akan kemampuan Kabuto)
kabuto : kekuatanku sage mode
sasuke : dia sama dengan orochimaru,.. seekor ular
yang tidak sempurna(tertaw a )
kabuto : jika kau dokter ular, ku harap kau tanam di
pikiranmu.. aku bukan lagi ular.. kekuatan sempurna
sage telah membantuku mengganti kulit ular dan
sekarang aku adalah naga
Itachi siap siaga
Kabuto dengan tanduk yang dikepalanya merapal
sebuah jutsudan siap menyerang
kabuto : Ninpou!!...Haku Geki No Jutsu!!
(Teknik Pertapa , Teknik Ular Putih...)..
Teriak Kabuto dengan wujud setengah ular dengan 4
tanduk dikepalanya..
Bersambung ke Naruto chapter 580 .
Disclaimer : Masashi Kishimoto
Itachi bersaudara akhirnya bersatu dalam Pertarungan .
Akhirnya Itachi menemukan Kabuto ditempat
tersembunyi, namun Sasuke yang membuntuti
kakaknya hingga menemui Kabuto juga, sejenak
perdebatan, diputuskan Sasuke akan bergabung
dengan Itachi melawan Kabuto, Itachi bermaksud
menghentikan teknik Edo Tensei yang kini menguasai
perang disamping Tobi dengan menggunakan
Tsukuyomi Sasuke dan Itachi nampak terkejut dengan
kekuatan aneh Kabuto .Sejumlah ular putih mengelilingi
tubuhnya...
"greepp"
Mengetaui rencana Itachi Kabuto pun menutupi
matanya dengan jubahnya kabuto : sebagai orang
yang pemalu, aku tak akan menatap orang lain
itachi : hati hati sasuke sepertinya ular-ular itu mampu
mengetahui keberadaan kita sasuke yang pernah
mengalaminya tau betul ular ular yang ada disekeliling
mereka
sasuke : ular mampu merasakan sesuatu melalui suhu
dan mereka mampu melakukannya dengan perasaan
dan penciuman mereka yang lewat dalam mulutnya..
itachi : kau rupanya telah belajar banyak.. Dokter Ular...
( memuji sasuke)
sasuke : aku melakukan banyak percobaan untuk
mengalahkan Orochimaru ( sasuke mengaktifkan
Eternal Mangekyou Sharingannya)
kabuto : ini arena ku.. alam berpihak padaku.., tapi kau
juga tak akan mengalahkanku dengan menjadi Doktor
Ular ........sshhhhh....
sasuke : ularnya bertambah besar
itachi : keuntungan tempat..., mungkin ini jebakan...
Sasuke
kabuto : sebuah jebakan? kupikir tidak
(Kabuto merepal tangan, perlahan ular-ular di
sekitarnya semakin besar)
...."Hsss!!!!!! !...".... Jrakkkk!!!!... Tanpa diduga sejumlah ular
Kabuto yang besar menyerang Sasuke dan Itachi...,
batu batu pun berhamburan..
..."Kreeeeettt. ..Kreettttt", nampak Susano'o Itachi
memegang erat ular Kabuto..... Sementara itu..
...tetesan darah ular didepan Sasuke dalam Susano'o
juga..., 2 ular yang menyerangnya telah terpenggal...
kabuto :jadi inilah Susano'o
itachi : jangan terlalu kasar Sasuke,.. Ingat kita tdak
membunuhnya
sasuke : dia itu memiliki kemampuan Orochimaru, dan
tdak akan mudah dikalahkan
..Greeett!!... Itachi menarik ular Kabuto...
.."wusshh...",dengan cepat lengan Susano'o diatas
kepala Kabuto, sasuke : dia didalam jubah ini ya
itachi : Sasuke ( mulai kawatir dengan tindakan
sasuke )
..tak terduga, dibalik Jubah yang Sasuke tarik,, ternyata
malah sejumlah ular,... ....Itachi pun masih memegang
ular putih besar itu dengan tangan-tangan
Susano'onya..
....zruuuttt... zruuttt!!!!!... . Ular-ular Kabuto kabur
berhamburan..., ...
"shiiingg...",tatapan mata Sasuke menyadari ular
terakhir dan langsung melemparkan pedangnya dan
tepat menembus ekor ular tersebut,...
"jrass...", tapi ular itu mengorbankan ekornya.. Akhirnya
ekornya pun terbelah..
sasuke : kau bukan pemalu..., kau menyembunyikan
tubuhmu, tdak hanya kepalamu apa kau mengganti
kulitmu untuk kabur? kelihatannya kau tdak lebih dari
sepotong kecil yang ditinggalkan Orochimaru
kabuto : Sasuke jangan meremehkanku.. Walaupun
benar ada upah untuk menangkapku lebih berguna dari
pada kau.. Tidak menyebutkan perbandingan dengan
Orochimaru
itachi : hati hati Sasuke, ada banyak chakra, tapi aku
tak dapat menemukannya yang asli
kabuto : ini teknik yang aku ciptakan setelah pecobaan
dan mengubah.. Kemampuan berubahklan Hozuki.. Ini
kemampuan untuk merubah tubuh menjadi caiiran, aku
menggunakan cairan tubuhku untuk mengeluarkan
teknik ini, jadi mirip seperti ganti kulit
Dan juga, ular yang dipegang Susano'o itachi pun
mencair..
kabuto : dia mampu berubah dari manusia ke air,, dan
air ke manusia,, itu Suigetsu, bukankah kau tahu?... Di
samping itu aku juga punya kemampuan
penyembuhan yang mengesankan.... .yang aku dapat
dari tubuh perempuan clan Uzumaki, setelah aku
mempelajari tubuhnya
Sasuke teringat pada rekannya
Kabuto : Itu adalah teman lamamu, Karin
(Sasuke mebayangkan Karin)
sasuke : apakah dia dari klan uzumaki?
kabuto : orang dari klan uzumaki semuanya
mempunyai rambut berwarna merah (nagato,
kushinadan Karin )
memiliki kekuatan yang sangat kuat dalam hidup kau
mungkin ingin tahu apa yang sudah aku lakukan
kepada temanmu ? tidak...dia bukan temanmu
sekarang, benarkah? ( kabuto dalam bentuk
ular, sasuke teringat akan juugo)
kabuto : bagaimanapun, karna kau telah memilih 3
orang, kau benar-benar memiliki selera yang bagus
Sasuke terlihat kesal
kabuto : di dunia ninja jika seseorang tidak memiliki
bakat, bahkan keberadaannya pun akan di tolak.hanya
pergi mengambilnya dari orang lain dan membuat
kau ? (masih dalam bentuk ular) “
sauke : tampaknya kau juga memilki kekuatan yang
sama seperti juugo... kau diserang oleh segel kutukan
dari Orochimaru?
kabuto :Tidak... itu hanya trik. hanya kemampuan
seperti itu dapat diperoleh dengan berlatih sendiri... di
Ryuchidou (gua naga )
kabuto menampakan dirinya diantara pepohonan
itachi : Ryuchidou!? Tidak mungkin. ( tak percaya
dengan kabuto )
kabuto : Aku akhirnya menemukannya... ! itu adalah
tempat legenda yang sama terkenalnya dengan
Myoubokuzan dan Shikkotsurin Bukan hanya
orochimaru, aku juga memimpikan untuk pergi ke sana
juga! Tambah Kabuto
Sasuke terlihat bingung akan perkataan Kabuto
Lalu terlihatlah Ryuchidou (Gua Naga) di mana tempat
Kabuto memperoleh kekuatan sage
kabuto : Di bawah bimbingan sage ular putih, aku
melatih diriku dan memperoleh kekuatannya ! Aku
akhirnya melampaui orochimaru.
kabuto mengeluarkan tangannya bersiap menyerang
wussssshhhhhhh
Lalu Sasuke dengan sigap menggunakan panah
susanoo dengan kecepatan tinggi dan menyerang
Kabuto
itachi : Jangan buru-buru, Sasuke
Itachi memarahi sasuke karna niat Sasuke yang ingin
cepat membunuh Kabuto
Lalu tersentak terlihat panah susanoo Sasuke di hindari
dan mengenai batang pohon
sasuke : panah susanoo ku... di hindari
Sasuke merasa tak percaya dan terkejut
kabuto : kemampuan persepsi telah ku tingkatkan.. aku
selalu mempunyai kekuatan alam untuk melindungiku
itachi : kekuatan alam... orang ini...aku benar
kabuto : biarkan aku menceritakan sesuatu... orang
klan dari juugo mempunyai tubuh spesial. Mereka
dapat menyerap kekuatan alam itulah alasan dia sering
mengamuk. jawaban mengapa kekuataannya selalu
keluar tanpa kendali dan secara tiba-tiba Orochimaru
tidak hanya peduli mengapa juugo mengamuk.. ia juga
terus memperhatikan sumber kemampuan klannya dan
menyelidikinya Dia akhirnya menemukan dari mana
sumber kemampuannya berasal.. itulah Ryuchidou
orochimaru mencoba mendapatkan kemampuannya
segera... tapi, ia tidak menemukan tubuh yang cocok
untuk menanggung kemampuan tersebut.. jadi
Kabuto keluar dari ular tersebut
Sretttttttttt kabuto akhirnya keluardari ularnya
kabuto : bahkan pada akhirnya ia tidak bisa menjadi
sage sepertiku
Kabuto akhirnya mucul
itachi : aku melihatnya.. ini sungguh-sungguh ( kaget
akan kemampuan Kabuto)
kabuto : kekuatanku sage mode
sasuke : dia sama dengan orochimaru,.. seekor ular
yang tidak sempurna(tertaw a )
kabuto : jika kau dokter ular, ku harap kau tanam di
pikiranmu.. aku bukan lagi ular.. kekuatan sempurna
sage telah membantuku mengganti kulit ular dan
sekarang aku adalah naga
Itachi siap siaga
Kabuto dengan tanduk yang dikepalanya merapal
sebuah jutsudan siap menyerang
kabuto : Ninpou!!...Haku Geki No Jutsu!!
(Teknik Pertapa , Teknik Ular Putih...)..
Teriak Kabuto dengan wujud setengah ular dengan 4
tanduk dikepalanya..
Bersambung ke Naruto chapter 580 .
Langganan:
Postingan (Atom)