Cari dengan google

yg mau add aku klik link di bawah

"selamat datang di blog ku ini semoga anda terhibur"

Minggu, 25 Maret 2012

Chap : 1

Chap : 1

Disclaimer:

Naruto © Kishimoto Masashi

Unexpected Marriage © Äsking Namikaze

Warning: AU, OOC, TYPO(S), sinetron banget

Naruto, Hinata: 25 tahun

♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀

XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

Naruto's point of view
~~~~~~~~~~~~~~

Aku dan err… istriku—Hinata—sedang berada di rumah mertuaku, yang berarti rumah orang tua Hinata. Kami kemari karena hari ini—delapan Januari—adalah hari ulang tahun ayah mertuaku, Hyūga Hiashi. Keluarga Hyūga sepertinya memang gemar sekali mengadakan pesta. Suasana meriah di kediaman Hyūga tidak surut sejak dirayakannya ulang tahun Hinata—dua puluh tujuh Desember—tahun lalu. Ya, tahun lalu karena sekarang 'kan sudah memasuki tahun baru.

Sebenarnya, aku dan Hinata sudah menginap di sini sejak sehari sebelum digelarnya pesta ulang tahun Hinata. Sejak saat itu, suasana di kediaman Hyūga selalu ramai. Pesta tahun baru juga begitu, banyak tamu yang datang, yang kebanyakan adalah teman-teman ayah mertuaku. Ibuku bahkan juga menginap di sini, dan baru pulang besok. Orang tuaku dan orang tua Hinata memang bersahabat, jadi tidak heran jika ibuku tidak merasa sungkan karena permintaan ibu Hinata yang sering mengajak ibuku untuk tinggal di kediaman Hyūga. Alasannya terkadang cukup sepele, butuh teman ngobrol. Sejak Hinata menikah denganku, ibu Hinata memang hanya tinggal berdua dengan suaminya. Jadi, menurutku ibu Hinata hanya kesepian. Padahal ibuku malah tinggal sendiri, tapi beliau tidak pernah mengeluh.

Dulu, waktu muda, ibuku adalah teman satu sekolah ibu Hinata. Saat itu, mereka juga tinggal satu flat, jadi mereka memang sangat akrab hingga saat ini. Persahabatan karib merekalah yang membuat diriku dan Hinata menjadi sepasang suami istri. Sepasang suami istri? Cih! Aku hanya menganggap Hinata sebagai teman satu rumah saja. Aku benar-benar tidak memiliki perasaan apapun kepadanya. Tidak ada cinta sedikitpun dalam hatiku untuknya. Padahal cinta sangat penting dalam sebuah hubungan sakral layaknya pernikahan.

Semakin aku mencoba untuk mencintai Hinata, semakin aku merasa jengkel kepadanya. Itu mungkin karena aku menganggapnya sebagai pengganggu hubunganku dengan kekasihku yang hampir kunikahi. Perempuan yang menjadi kekasihku sejak tiga tahun yang lalu. Untung saja ia masih mau berhubungan denganku setelah aku menikah dengan Hinata. Kalau tidak, aku pasti sudah menceraikan Hinata walaupun ia memohon atau bahkan bersujud di kakiku.

"… -kun… Naruto-kun…"

"A..apa?"

Entah sejak kapan Hinata memanggil namaku. Tapi sejak aku sadar kalau ia memanggilku, semua mata sudah mengarah kepadaku. Di ruang keluarga yang sudah sepi ini, hanya ada ayah dan ibu mertua, serta ibuku yang menatapku heran. Aku pasti terlihat melamun sejak tadi.

"Kapan?"

Apa maksud Okaa-chan dengan kapan? Memangnya tadi mereka membicarakan apa sih?

"A..apanya?" tanyaku sedikit kikuk. Kulihat Hinata hanya diam dengan wajah merona. Ayah dan ibu mertuaku seolah menunggu jawaban dariku. Kalau ibuku, melihatku sambil menggelengkan kepalanya pelan.

"Jadi, dari tadi kau tidak mendengarkan kami?" Okaa-chan menghela nafas lelah setelah mengatakannya.

"Gomen…" ucapku sambil sedikit tersenyum—yang sebenarnya kupaksakan.

"Aku tadi tanya, kapan kalian memberikan cucu pada kami?"

Oh… ternyata itu… Kenapa mendadak jadi bad mood, ya? Aku sama sekali tidak berminat dengan pembicaraan seperti ini. Apa yang harus kukatakan?

"Ka..kami menundanya."

Baguslah kalau kau bisa mencari alasan, Hinata. Aku benar-benar malas menjawabnya.

"Kenapa masih menunda-nunda?" Sekarang Okaa-san yang angkat bicara.

Ingin jawaban yang jujur? Kalau iya, aku bisa mengatakan kalau aku tidak mencintai Hinata. Jadi, aku sama sekali tidak tertarik padanya. Aku rasa, kalian semua bisa terkena serangan jantung setelah mendengarnya. Jadi, aku putuskan untuk mencari alasan yang… mungkin sedikit lebih baik dari itu.

"Hinata harus mengajar. Saya juga harus bekerja. Jadi—"

"Itu bukan alasan yang kuat, Naruto," potong Okaa-chan. "Hinata bisa cuti. Kalau Hinata harus mengajar lagi, kalian bisa menitipkan anak kalian pada kami."

Kulihat Okaa-san hanya mengangguk setuju dengan penuturan Okaa-chan.

"Jadi, tidak ada alasan lagi untuk menundanya," lanjut Okaa-chan.

Kenapa hidupku jadi diatur-atur sih? Apa karena aku dan Hinata sama-sama anak tunggal, jadi mereka begitu inginnya menimang cucu? Kalau tidak sabar, kenapa tidak mengadopsi bayi untuk dijadikan cucu?

"Kau dari tadi banyak diam, Naruto. Kenapa?" Saat ini Okaa-chan malah terlihat khawatir.

"Ah… tidak apa-apa, aku hanya sedikit… lelah," jawabku sedikit asal.

"Kalau begitu istirahatlah…" Kini aku mendapatkan pandangan khawatir dari ibu mertuaku. "Hinata…" Okaa-san tidak melanjutkan kalimatnya, beliau hanya mengerling kepada Hinata yang duduk di sampingku. Aku dapat melihat pipi Hinata yang memerah seperti biasa.

"Saya—err… kami akan pulang sekarang," ucapku sambil berdiri dari posisi enakku di sofa berlapis beludru coklat yang hangat itu. Otou-san tidak banyak bicara seperti biasa. Hinata dan Okaa-san sedikit terkejut. Kalau Okaa-chan malah mengernyitkan dahinya.

"Kenapa malam-malam begini? Katanya lelah?" tanya Okaa-san.

Aku hanya tidak mau tidur satu kamar lagi dengan Hinata. Sudah cukup aku tidur di sofa kamar Hinata selama tiga belas hari. Badanku masih terasa pegal sampai sekarang. Apa aku harus jujur untuk yang ini?

"Besok Naruto-kun harus bekerja, Okaa-san…"

Mungkin aku harus berterima kasih padamu, Hinata. Dari tadi kau selalu bisa menyelamatkanku di saat posisiku terjepit. Alasanmu sepertinya bisa diterima mereka semua, buktinya mereka hanya bungkam setelahnya. Oke, aku tidak peduli dengan semua itu. Aku hanya ingin segera pulang. Sekarang. Pembicaraan tadi membuat suasana hatiku menjadi buruk.

.

.

.

Hinata's point of view
~~~~~~~~~~~~~~

Kami—aku dan suamiku, Naruto-kun—sedang dalam perjalanan pulang ke rumah kami, lebih tepatnya rumah mungil dengan dua lantai yang dibeli Naruto-kun sebelum pernikahan kami satu tahun yang lalu. Pernikahan karena perjodohan bodoh orang tua kami sejak kami belum dilahirkan. Orang tua kami bersahabat, dan jika mereka memiliki anak yang berlainan jenis kelamin, maka mereka akan menjodohkan anak mereka, yaitu kami. Pernikahan yang sebenarnya sangat aku dambakan, tapi tidak pernah diharapkan Naruto-kun. Walaupun ini perjodohan, tapi aku sudah memiliki rasa kepada Naruto-kun sejak kami sama-sama duduk di bangku sekolah menengah. Sebelumnya aku memang tidak pernah tahu tentang perjodohan ini, tapi aku sudah lama menyukainya.

Entah apa yang membuatku tetap bertahan menjadi istrinya. Seorang istri yang tidak pernah disentuh suaminya sedikitpun. Selama ini, kami lebih sering diam. Kami hanya berbicara jika benar-benar sangat dibutuhkan. Setidaknya saat kami masih menjadi seorang pelajar, dia masih mau mengajakku bicara karena kami pernah menjadi teman sekelas. Tapi semenjak pernikahan ini, hubungan kami benar-benar buruk. Mungkin Naruto-kun sudah menceraikanku, jika aku tidak memohon untuk tetap mempertahankan pernikahan ini. Aku tidak ingin melepasnya. Mungkin aku memang egois. Tapi, aku benar-benar tidak ingin berpisah darinya. Untuk yang satu ini, aku berhak bersikap egois.

Aku tidak peduli jika aku dibenci dan dianggap mengganggu… menganggu hubungannya dengan kekasihnya yang hampir dinikahinya. Sampai sekarang, dia masih menjalin hubungan dengan perempuan yang menjadi kekasihnya… kekasihnya sejak ia duduk di bangku kuliah. Bahkan sampai pernikahan kami berumur lebih dari satu tahun, dia masih mempertahankan hubungan itu. Mungkin ini adalah konsekuensi yang harus kuterima karena menikah dengan laki-laki yang mencintai perempuan lain. Ini juga syarat darinya untukku, jika aku masih ingin menjadi istrinya. Aku harus menerimanya…

Karena aku mencintainya…

.

.

.

Normal pov
*********

"Sudah sampai," Suara datar Naruto membuyarkan lamunan Hinata.

Hinata melihat keluar jendela mobil Naruto. Ternyata memang sudah sampai di halaman sempit—yang hanya cukup untuk satu mobil—rumah mereka. Rumah yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah orang tua Naruto. Lebih tepatnya orang tua tunggal Naruto, yaitu ibu Naruto—Uzumaki Kushina. Karena ayah Naruto—Namikaze Minato—sudah meninggal sebelum Naruto dilahirkan. Karena itu, Kushina memberikan marganya untuk Naruto, bukan marga ayahnya.

Naruto yang melihat Hinata masih belum turun dari mobilnya, memutuskan untuk turun lebih dulu. Dengan kasar ia membuka pintu mobil dan menutupnya dengan dibanting, membuat Hinata yang masih berada di dalam tersentak kaget. Naruto dengan cepat melangkahkan kakinya ke dalam rumahnya. Hinata jadi mengira kalau Naruto sedang dalam emosi yang buruk saat ini. Sepertinya karena percakapan yang terjadi beberapa saat yang lalu di rumah orang tua Hinata.

Hinata turun dari mobil Naruto. Kemudian, ia masuk ke rumahnya dengan sedikit takut. Hinata menemukan Naruto sedang duduk di sofa orange ruang tamu. Kemeja yang semula rapi, kini terlihat berantakan dan beberapa kancing kemeja biru mudanya terbuka. Naruto hanya menunduk sambil meremas rambut kuningnya.

"Ka..kau kenapa?" tanya Hinata yang diliputi rasa takut.

"Apa pedulimu, hah?" balas Naruto sinis sambil menatap tajam Hinata.

"Kalau kau ada masalah, ceritakan padaku…" ucap Hinata seraya mendekat kepada Naruto.

Naruto berdiri dari duduknya dan menghadap Hinata. "Masalahku adalah kau! Kalau kau tidak pernah ada, aku pasti sudah bahagia!" bentak Naruto di depan muka Hinata.

Seketika mata Hinata berkaca-kaca. Hinata tahu, kalau ia tidak pernah dilahirkan, pasti perjodohan itu batal dan Naruto bisa dengan bebas memilih pasangan hidupnya. Perlahan air matanya sudah membasahi pipinya. Walaupun begitu, tidak ada rasa iba di hati Naruto untuk Hinata. Bahkan, Naruto masih memasang wajah dinginnya saat Hinata menangis di depannya.

"Aku tidak pernah mengharapkan pernikahan konyol ini! Aku lelah!"

"Kalau kau tidak menginginkannya, kenapa mengucapkan ikrar itu?" tanya Hinata dengan isak tangisnya.

"Aku terpaksa! Aku tidak bisa melawan Okaa-chan yang menjadi orang tua tunggalku! Berapa kali kau menanyakan tentang itu, hah? Aku bosan menjawabnya!" Naruto belum menurunkan suara tingginya.

Hinata memejamkan matanya karena takut melihat Naruto yang tidak lagi menahan amarahnya. "Maaf… maaf Naruto-kun…"

"Permintaan maafmu sama sekali tidak berguna," ujar Naruto seraya meninggalkan Hinata yang menangis sendirian di ruang tamu.


.
#~**~#

==>_| ~To Be Continued~


Disclaimer:

Naruto © Kishimoto Masashi

Unexpected Marriage © Äsking Namikaze

Warning: AU, OOC, TYPO(S), sinetron banget

Naruto, Hinata: 25 tahun

♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀

XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

Naruto's point of view
~~~~~~~~~~~~~~

Aku dan err… istriku—Hinata—sedang berada di rumah mertuaku, yang berarti rumah orang tua Hinata. Kami kemari karena hari ini—delapan Januari—adalah hari ulang tahun ayah mertuaku, Hyūga Hiashi. Keluarga Hyūga sepertinya memang gemar sekali mengadakan pesta. Suasana meriah di kediaman Hyūga tidak surut sejak dirayakannya ulang tahun Hinata—dua puluh tujuh Desember—tahun lalu. Ya, tahun lalu karena sekarang 'kan sudah memasuki tahun baru.

Sebenarnya, aku dan Hinata sudah menginap di sini sejak sehari sebelum digelarnya pesta ulang tahun Hinata. Sejak saat itu, suasana di kediaman Hyūga selalu ramai. Pesta tahun baru juga begitu, banyak tamu yang datang, yang kebanyakan adalah teman-teman ayah mertuaku. Ibuku bahkan juga menginap di sini, dan baru pulang besok. Orang tuaku dan orang tua Hinata memang bersahabat, jadi tidak heran jika ibuku tidak merasa sungkan karena permintaan ibu Hinata yang sering mengajak ibuku untuk tinggal di kediaman Hyūga. Alasannya terkadang cukup sepele, butuh teman ngobrol. Sejak Hinata menikah denganku, ibu Hinata memang hanya tinggal berdua dengan suaminya. Jadi, menurutku ibu Hinata hanya kesepian. Padahal ibuku malah tinggal sendiri, tapi beliau tidak pernah mengeluh.

Dulu, waktu muda, ibuku adalah teman satu sekolah ibu Hinata. Saat itu, mereka juga tinggal satu flat, jadi mereka memang sangat akrab hingga saat ini. Persahabatan karib merekalah yang membuat diriku dan Hinata menjadi sepasang suami istri. Sepasang suami istri? Cih! Aku hanya menganggap Hinata sebagai teman satu rumah saja. Aku benar-benar tidak memiliki perasaan apapun kepadanya. Tidak ada cinta sedikitpun dalam hatiku untuknya. Padahal cinta sangat penting dalam sebuah hubungan sakral layaknya pernikahan.

Semakin aku mencoba untuk mencintai Hinata, semakin aku merasa jengkel kepadanya. Itu mungkin karena aku menganggapnya sebagai pengganggu hubunganku dengan kekasihku yang hampir kunikahi. Perempuan yang menjadi kekasihku sejak tiga tahun yang lalu. Untung saja ia masih mau berhubungan denganku setelah aku menikah dengan Hinata. Kalau tidak, aku pasti sudah menceraikan Hinata walaupun ia memohon atau bahkan bersujud di kakiku.

"… -kun… Naruto-kun…"

"A..apa?"

Entah sejak kapan Hinata memanggil namaku. Tapi sejak aku sadar kalau ia memanggilku, semua mata sudah mengarah kepadaku. Di ruang keluarga yang sudah sepi ini, hanya ada ayah dan ibu mertua, serta ibuku yang menatapku heran. Aku pasti terlihat melamun sejak tadi.

"Kapan?"

Apa maksud Okaa-chan dengan kapan? Memangnya tadi mereka membicarakan apa sih?

"A..apanya?" tanyaku sedikit kikuk. Kulihat Hinata hanya diam dengan wajah merona. Ayah dan ibu mertuaku seolah menunggu jawaban dariku. Kalau ibuku, melihatku sambil menggelengkan kepalanya pelan.

"Jadi, dari tadi kau tidak mendengarkan kami?" Okaa-chan menghela nafas lelah setelah mengatakannya.

"Gomen…" ucapku sambil sedikit tersenyum—yang sebenarnya kupaksakan.

"Aku tadi tanya, kapan kalian memberikan cucu pada kami?"

Oh… ternyata itu… Kenapa mendadak jadi bad mood, ya? Aku sama sekali tidak berminat dengan pembicaraan seperti ini. Apa yang harus kukatakan?

"Ka..kami menundanya."

Baguslah kalau kau bisa mencari alasan, Hinata. Aku benar-benar malas menjawabnya.

"Kenapa masih menunda-nunda?" Sekarang Okaa-san yang angkat bicara.

Ingin jawaban yang jujur? Kalau iya, aku bisa mengatakan kalau aku tidak mencintai Hinata. Jadi, aku sama sekali tidak tertarik padanya. Aku rasa, kalian semua bisa terkena serangan jantung setelah mendengarnya. Jadi, aku putuskan untuk mencari alasan yang… mungkin sedikit lebih baik dari itu.

"Hinata harus mengajar. Saya juga harus bekerja. Jadi—"

"Itu bukan alasan yang kuat, Naruto," potong Okaa-chan. "Hinata bisa cuti. Kalau Hinata harus mengajar lagi, kalian bisa menitipkan anak kalian pada kami."

Kulihat Okaa-san hanya mengangguk setuju dengan penuturan Okaa-chan.

"Jadi, tidak ada alasan lagi untuk menundanya," lanjut Okaa-chan.

Kenapa hidupku jadi diatur-atur sih? Apa karena aku dan Hinata sama-sama anak tunggal, jadi mereka begitu inginnya menimang cucu? Kalau tidak sabar, kenapa tidak mengadopsi bayi untuk dijadikan cucu?

"Kau dari tadi banyak diam, Naruto. Kenapa?" Saat ini Okaa-chan malah terlihat khawatir.

"Ah… tidak apa-apa, aku hanya sedikit… lelah," jawabku sedikit asal.

"Kalau begitu istirahatlah…" Kini aku mendapatkan pandangan khawatir dari ibu mertuaku. "Hinata…" Okaa-san tidak melanjutkan kalimatnya, beliau hanya mengerling kepada Hinata yang duduk di sampingku. Aku dapat melihat pipi Hinata yang memerah seperti biasa.

"Saya—err… kami akan pulang sekarang," ucapku sambil berdiri dari posisi enakku di sofa berlapis beludru coklat yang hangat itu. Otou-san tidak banyak bicara seperti biasa. Hinata dan Okaa-san sedikit terkejut. Kalau Okaa-chan malah mengernyitkan dahinya.

"Kenapa malam-malam begini? Katanya lelah?" tanya Okaa-san.

Aku hanya tidak mau tidur satu kamar lagi dengan Hinata. Sudah cukup aku tidur di sofa kamar Hinata selama tiga belas hari. Badanku masih terasa pegal sampai sekarang. Apa aku harus jujur untuk yang ini?

"Besok Naruto-kun harus bekerja, Okaa-san…"

Mungkin aku harus berterima kasih padamu, Hinata. Dari tadi kau selalu bisa menyelamatkanku di saat posisiku terjepit. Alasanmu sepertinya bisa diterima mereka semua, buktinya mereka hanya bungkam setelahnya. Oke, aku tidak peduli dengan semua itu. Aku hanya ingin segera pulang. Sekarang. Pembicaraan tadi membuat suasana hatiku menjadi buruk.

.

.

.

Hinata's point of view
~~~~~~~~~~~~~~

Kami—aku dan suamiku, Naruto-kun—sedang dalam perjalanan pulang ke rumah kami, lebih tepatnya rumah mungil dengan dua lantai yang dibeli Naruto-kun sebelum pernikahan kami satu tahun yang lalu. Pernikahan karena perjodohan bodoh orang tua kami sejak kami belum dilahirkan. Orang tua kami bersahabat, dan jika mereka memiliki anak yang berlainan jenis kelamin, maka mereka akan menjodohkan anak mereka, yaitu kami. Pernikahan yang sebenarnya sangat aku dambakan, tapi tidak pernah diharapkan Naruto-kun. Walaupun ini perjodohan, tapi aku sudah memiliki rasa kepada Naruto-kun sejak kami sama-sama duduk di bangku sekolah menengah. Sebelumnya aku memang tidak pernah tahu tentang perjodohan ini, tapi aku sudah lama menyukainya.

Entah apa yang membuatku tetap bertahan menjadi istrinya. Seorang istri yang tidak pernah disentuh suaminya sedikitpun. Selama ini, kami lebih sering diam. Kami hanya berbicara jika benar-benar sangat dibutuhkan. Setidaknya saat kami masih menjadi seorang pelajar, dia masih mau mengajakku bicara karena kami pernah menjadi teman sekelas. Tapi semenjak pernikahan ini, hubungan kami benar-benar buruk. Mungkin Naruto-kun sudah menceraikanku, jika aku tidak memohon untuk tetap mempertahankan pernikahan ini. Aku tidak ingin melepasnya. Mungkin aku memang egois. Tapi, aku benar-benar tidak ingin berpisah darinya. Untuk yang satu ini, aku berhak bersikap egois.

Aku tidak peduli jika aku dibenci dan dianggap mengganggu… menganggu hubungannya dengan kekasihnya yang hampir dinikahinya. Sampai sekarang, dia masih menjalin hubungan dengan perempuan yang menjadi kekasihnya… kekasihnya sejak ia duduk di bangku kuliah. Bahkan sampai pernikahan kami berumur lebih dari satu tahun, dia masih mempertahankan hubungan itu. Mungkin ini adalah konsekuensi yang harus kuterima karena menikah dengan laki-laki yang mencintai perempuan lain. Ini juga syarat darinya untukku, jika aku masih ingin menjadi istrinya. Aku harus menerimanya…

Karena aku mencintainya…

.

.

.

Normal pov
*********

"Sudah sampai," Suara datar Naruto membuyarkan lamunan Hinata.

Hinata melihat keluar jendela mobil Naruto. Ternyata memang sudah sampai di halaman sempit—yang hanya cukup untuk satu mobil—rumah mereka. Rumah yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah orang tua Naruto. Lebih tepatnya orang tua tunggal Naruto, yaitu ibu Naruto—Uzumaki Kushina. Karena ayah Naruto—Namikaze Minato—sudah meninggal sebelum Naruto dilahirkan. Karena itu, Kushina memberikan marganya untuk Naruto, bukan marga ayahnya.

Naruto yang melihat Hinata masih belum turun dari mobilnya, memutuskan untuk turun lebih dulu. Dengan kasar ia membuka pintu mobil dan menutupnya dengan dibanting, membuat Hinata yang masih berada di dalam tersentak kaget. Naruto dengan cepat melangkahkan kakinya ke dalam rumahnya. Hinata jadi mengira kalau Naruto sedang dalam emosi yang buruk saat ini. Sepertinya karena percakapan yang terjadi beberapa saat yang lalu di rumah orang tua Hinata.

Hinata turun dari mobil Naruto. Kemudian, ia masuk ke rumahnya dengan sedikit takut. Hinata menemukan Naruto sedang duduk di sofa orange ruang tamu. Kemeja yang semula rapi, kini terlihat berantakan dan beberapa kancing kemeja biru mudanya terbuka. Naruto hanya menunduk sambil meremas rambut kuningnya.

"Ka..kau kenapa?" tanya Hinata yang diliputi rasa takut.

"Apa pedulimu, hah?" balas Naruto sinis sambil menatap tajam Hinata.

"Kalau kau ada masalah, ceritakan padaku…" ucap Hinata seraya mendekat kepada Naruto.

Naruto berdiri dari duduknya dan menghadap Hinata. "Masalahku adalah kau! Kalau kau tidak pernah ada, aku pasti sudah bahagia!" bentak Naruto di depan muka Hinata.

Seketika mata Hinata berkaca-kaca. Hinata tahu, kalau ia tidak pernah dilahirkan, pasti perjodohan itu batal dan Naruto bisa dengan bebas memilih pasangan hidupnya. Perlahan air matanya sudah membasahi pipinya. Walaupun begitu, tidak ada rasa iba di hati Naruto untuk Hinata. Bahkan, Naruto masih memasang wajah dinginnya saat Hinata menangis di depannya.

"Aku tidak pernah mengharapkan pernikahan konyol ini! Aku lelah!"

"Kalau kau tidak menginginkannya, kenapa mengucapkan ikrar itu?" tanya Hinata dengan isak tangisnya.

"Aku terpaksa! Aku tidak bisa melawan Okaa-chan yang menjadi orang tua tunggalku! Berapa kali kau menanyakan tentang itu, hah? Aku bosan menjawabnya!" Naruto belum menurunkan suara tingginya.

Hinata memejamkan matanya karena takut melihat Naruto yang tidak lagi menahan amarahnya. "Maaf… maaf Naruto-kun…"

"Permintaan maafmu sama sekali tidak berguna," ujar Naruto seraya meninggalkan Hinata yang menangis sendirian di ruang tamu.


.
#~**~#

==>_| ~To Be Continued~

Tidak ada komentar:

awesome comments
*
i
g
n
a
l
e
p
a
t
s
a
R
a
h
i
h
c
u
f
e
i
n
a
h
k