Cari dengan google

yg mau add aku klik link di bawah

"selamat datang di blog ku ini semoga anda terhibur"

Minggu, 25 Maret 2012

chapter 4


Chap : 4

Naruto © Kishimoto Masashi

Warning: AU, OOC, TYPO(S), sinetron banget

Naruto, Hinata: 25 tahun

♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀

XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

Selamat Membaca ... ^_^


Normal pov

Naruto berdiri di ambang pintu kamar rawat Hinata. Ia mengurungkan niatnya untuk langsung masuk dan menghampiri istrinya. Ia terlihat ragu untuk melangkahkan kakinya, sehingga ia hanya mematung di di ambang pintu yang masih sedikit terbuka.

Yang membuat Naruto lebih canggung untuk maju adalah keberadaan dua orang di dekat Hinata—seorang anak perempuan berumur lima tahunan berambut pirang pucat dan dokter berambut perak yang berdiri membelakangi Naruto.

"Nanti kalau Okaa-chan sudah sembuh, Shion mau tidur sama Okaa-chan…"

Naruto terbelalak mendengar celotehan anak kecil yang duduk di tepi ranjang Hinata. Selama mengenal Hinata, ia belum pernah melihat Hinata mengandung dan melahirkan.

"Shion, ayo pulang," ajak dokter berambut perak dengan kalem.

"Otou-chan pulang sendiri saja. Shion mau sama Okaa-chan. Shion 'kan kangen Okaa-chan…" rengek anak perempuan yang dipanggil Shion tersebut.

Naruto hanya mengernyitkan kening. Ia bingung dan tidak mengerti. Ia butuh penjelasan dari Hinata tentang masalah ini. Bagaimanapun Naruto adalah suami Hinata, ia berhak mengetahui apapun mengenai Hinata.

"Na..Naruto-kun? Sejak kapan di sana? Kenapa tidak langsung masuk?"

Suara Hinata membuat Naruto sedikit tersentak. Setelah menguasai jantungnya yang berdetak tak normal, Naruto membuka pintunya lebih lebar, lalu masuk dan langsung menutup pintunya. Ia menghampiri ranjang Hinata sambil menyunggingkan senyumnya. Kelihatannya Hinata sangat senang melihat kedatangan Naruto sekaligus bonus senyum darinya. Karena itu, senyum tipis Naruto dibalas Hinata dengan senyum yang lebih manis.

Naruto mengalihkan pandangannya ke arah dokter berambut perak dan berkacamata yang menoleh padanya. Naruto membalas senyum dari dokter berumur tiga puluh tahunan tersebut sebelum melihat ke arah Shion. Ia jadi bertanya-tanya di dalam hati setelah melihat wajah Shion. Menurutnya, Shion sangat mirip dengan Hinata. Apalagi potongan rambutnya. Tapi, bisa saja 'kan kalau seorang murid taman kanak-kanak meniru style rambut gurunya?

"Siapa itu, Okaa-chan?" tanya Shion sambil melihat ke Hinata dan mengayunkan kakinya yang menggantung.

Hinata tersenyum manis sambil membelai rambut Shion dengan tangan kanannya yang tidak diperban. Ia melihat sejenak ke arah Naruto yang sudah berdiri di samping kirinya. "Shion boleh memanggilnya Otou-chan…" ucapnya lembut.

Naruto semakin tidak mengerti. Ia hanya mengerutkan alisnya ketika menatap Hinata yang masih membelai Shion.

"Otou-chan Shion cuma satu…" rengek Shion seraya cemberut dan memelototi Naruto.

Naruto mulai berpikir bahwa Shion bukanlah anak berumur lima tahun yang manis.

"Maafkan putri saya, Uzumaki-san."

Naruto melihat ke arah dokter berkacamata yang sedari tadi lebih banyak diam. Ia hanya tersenyum untuk menunjukkan bahwa ia tidak merasa terganggu atas kelakuan Shion.

"Kenalkan, saya Yakushi Kabuto."

Naruto menjabat tangan Kabuto yang terulur padanya. Ia dan Kabuto berdiri pada sisi ranjang yang berbeda, sehingga ia lebih mendekat ke ranjang Hinata agar bisa menjangkau tangan Kabuto.

"Yakushi-san yang menolongku, Naruto-kun…" sahut Hinata.

"Oh. Terima kasih, Yakushi-san," ucap Naruto sedikit kikuk.

Kabuto tersenyum kepada Naruto sebelum melihat Shion dan menepuk pelan puncak kepala putrinya tersebut.

"Shion, ayo pulang." Kabuto mengulangi ajakannya. "Besok sekolah, 'kan… Okaa-chan juga harus banyak istirahat," lanjutnya.

"Tapi kalau nggak ada Okaa-chan, Shion nggak mau sekolah…" rengek Shion.

"Eh? Shion nggak boleh bolos," sahut Hinata sambil menunjukkan wajah tegasnya.

Shion mengerucutkan bibirnya sambil menunjukkan wajah memelasnya. "Kalau Shion sekolah, siapa yang menemani Okaa-chan?"

"Okaa-chan 'kan sudah besar, jadi nggak takut kalau sendiri," canda Hinata. Ia mendapatkan balasan tawa kecil Shion. Hinata menyusul tertawa setelahnya.

Naruto masih diam. Ia mencuri pandang ke arah Kabuto. Ia bisa melihat senyum tipis yang tersungging di bibir Kabuto ketika memandang Hinata dan Shion. Ia merasa iri ketika melihat Hinata yang bisa bicara banyak dan tertawa di depan Shion dan Kabuto. Padahal kalau Hinata bersamanya, bertegur sapa saja sangat jarang. Bicara panjang atau tersenyum juga tidak kalah jarangnya. Apalagi tertawa seperti yang sekarang dilihatnya—mungkin baru kali ini Naruto melihatnya.

Akhirnya Shion mematuhi Kabuto untuk keluar dari kamar rawat Hinata. Sebelum keluar, Shion mendapatkan kecupan lembut dari Hinata di kedua pipinya. Naruto hanya diam karena banyak pertanyaan yang berputar-putar di benaknya. Alisnya kembali bertaut ketika melihat Kabuto meremas lembut jemari tangan kanan Hinata yang terkulai di atas pangkuan Hinata. Jujur, ia tidak senang melihat itu. Apalagi ia melihat kalau Hinata membalas remasan tangan Kabuto, sebelum dokter beranak satu itu melangkahkan kakinya keluar ruangan.

Sekarang di ruang rawat Hinata hanya ada Hinata dan Naruto. Mereka masih diam dan tampak canggung. Suara derit kursi yang diseret Naruto mengusik keheningan di antara mereka. Naruto duduk di samping kiri Hinata dan seolah menunggu Hinata untuk menjelaskan semuanya—yang baru saja disaksikannya dan membuatnya tak mengerti.

"Na..Naruto-kun, aku akan menjelaskan tentang Shion…"

Naruto masih bungkam dan membalas tatapan Hinata yang tidak hanya fokus kepadanya.

"Shion memang putriku, walaupun… bukan aku yang melahirkannya," tambah Hinata sebelum ia menggigit bibir bawahnya. Ia takut kalau Naruto akan marah setelah mendengarnya.

"Bagaimana bisa?" Naruto mengernyitkan keningnya. Ia masih belum mengerti.

"Bayi tabung," jawab Hinata singkat. Ia menundukkan kepalanya karena tidak berani memandang Naruto. Karena tidak ada respon dari Naruto, Hinata meneruskan penjelasannya, "Sahabatku, istri Yakushi-san, divonis menopause dini. Karena itu, dia tidak memiliki sel telur. Lalu, dia memintaku menyumbangkan sel telurku…"

"Kapan?" tanya Naruto dingin.

"Sa..saat masih ku..kuliah," jawab Hinata takut-takut. Ia menggenggam erat jari-jarinya yang gemetaran.

"Kenapa mau?" Suara Naruto masih terdengar rendah dan dingin.

"Ka..karena waktu itu aku kurang pertimbangan. Yang terpikir olehku, hanya sekedar membantu…"

Naruto tahu kalau Hinata adalah tipe orang yang sangat sulit menolak ajakan, permintaan, atau permohonan dari teman-temannya. Intinya, Hinata sering tidak bisa menolak. Ia juga tahu kalau Hinata bukanlah orang yang tegaan. Mungkin dalam kasus ini, Naruto masih bisa maklum. Bukankah yang dilakukan Hinata bisa dikategorikan sebagai perbuatan yang mulia? Naruto mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

"Jadi, bisa dibilang kalau Shion adalah putrimu dan dokter itu." Naruto menyimpulkan. Dadanya terasa sesak saat mengatakannya. Sebenarnya ia tidak rela dan tidak ingin mengakuinya.

"I..iya, tapi 'kan bukan aku yang—"

"Ya, tidak perlu kau jelaskan lagi. Aku sudah mengerti," potong Naruto dengan suara yang lebih lembut.

"Na..Naruto-kun ma..marah?" tanya Hinata sambil mengangkat wajahnya agar bisa melihat ekspresi Naruto.

Naruto malah tersenyum. "Aku tidak punya alasan untuk marah," balasnya lembut. "Oh, iya, mana yang sakit?" Raut wajah Naruto berubah khawatir.

Hinata menunjuk siku tangan kirinya. "Aku terjatuh dari motor saat keluar dari gerbang sekolah." Sekolah yang dimaksud Hinata adalah sebuah akademi yang terdiri dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah. Sejak lulus kuliah, Hinata sudah menjadi guru taman kanak-kanak di sana.

"Apa parah?" Naruto memperhatikan gibs yang ada di tangan kiri Hinata.

"Hanya patah tulang di bagian siku dan sedikit shock."

"Hanya?" Naruto menaikkan satu alisnya karena mendengar nada santai Hinata. "Kau ini…" desisnya. Ia bangkit dari kursi, kemudian menduduki tepi ranjang Hinata dan menatap mata Hinata dalam diam.

Hinata yang merasa jarak wajahnya sangat dekat dengan wajah Naruto, sedikit menahan nafas dan menelan ludah. Jantungnya berpacu sangat cepat. Walaupun setiap hari bertemu Naruto, berhadapan sedekat itu dengan Naruto bisa dihitung jari—atau mungkin sebelumnya tidak pernah.

Saat menikah pun keluarga mereka memilih cara tradisional, yang menurut ayah Hinata tidak boleh menggunakan budaya berciuman setelah resmi menjadi suami istri. Kata ayah Hinata, boleh melakukannya jika memang hanya berdua. Sampai sekarang, Hinata memaklumi ayahnya yang sangat memegang teguh budaya tradisionalnya. Kalau Naruto, waktu itu ia malah merasa tenang.

Naruto meletakkan tangan kirinya di pundak kanan Hinata. Ia meremasnya lembut seiring wajahnya yang semakin mendekati wajah Hinata. Ia sedikit memiringkan wajahnya dan menutup matanya, ketika ia merasa sudah berada di jalur yang tepat untuk meraih tujuannya.

Hinata ikut memejamkan mata dalam kegugupannya. Ia merasa debar jantungnya bisa menulikan telinganya sendiri. Ia bisa merasakan pipinya yang memanas. Tidak lama kemudian, ia sudah merasakan ada sesuatu yang menempel lembut di bibirnya.

Hinata pun terhanyut dalam keajaiban ciuman pertama. Hinata's first kiss…

"Tiba-tiba aku merasa sangat merindukanmu."

Suara Naruto bisa didengar oleh Hinata ketika bibirnya terasa ringan. Hinata memberanikan dirinya untuk membuka mata agar bisa melihat Naruto.

"Dan… menginginkanmu," bisik Naruto seraya tersenyum pada Hinata.

Belum sempat Hinata membuka mata sepenuhnya, Naruto sudah kembali menguasai bibirnya. Akhirnya ia kembali memejamkan matanya—lebih rapat daripada sebelumnya.

Hinata bisa merasakan tangan Naruto yang bergerak ke bagian belakang kepalanya untuk memperdalam ciuman. Tangan Naruto yang semula berada di pundak kanan Hinata, kini mulai bergerak semakin turun. Sampai…

Mereka terpaksa menghentikan kegiatan mereka ketika perut Naruto berkoar-koar minta diisi. Setelah sedikit menjauhkan diri, Naruto hanya nyengir tanpa dosa dan menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.

Hinata hanya tertawa kecil dengan wajah memerah. Ia masih deg-degan dan terkejut dengan apa yang baru saja dialaminya. Bahkan ia merasa tubuhnya gemetaran karena baru kali ini melakukannya.

"Be..belum makan?" tanya Hinata malu-malu.

"Belum," jawab Naruto santai dengan wajah innocent. Kemudian, ia mengeluarkan senyum lebarnya, seolah tidak memiliki beban dan sebelumnya tidak pernah terjadi apa-apa.

"Naruto-kun makan dulu saja." Hinata memaksa dirinya untuk tidak menunduk.

"Kamu sudah makan, Hina-chan?"

Hinata tampak sumringah mendengar perubahan Naruto dalam memanggil namanya. Ia tersenyum senang, lalu menjawab, "Sudah."

"Kalau begitu, aku beli makan dulu. Lalu, aku akan membawanya ke sini."

Hinata mengangguk semangat tanpa memudarkan senyumnya. Ia merasa sangat senang. Sepertinya ia sudah merasakan hikmah dari musibah—jatuh dari motor—yang menimpanya. Mungkin ini merupakan awal yang baik untuknya dan Naruto…


#~**~#

Tidak ada komentar:

awesome comments
*
i
g
n
a
l
e
p
a
t
s
a
R
a
h
i
h
c
u
f
e
i
n
a
h
k