Chap : 3
Disclaimer:
Naruto © Kishimoto Masashi
Warning: AU, OOC, TYPO(S), sinetron banget
Naruto, Hinata: 25 tahun
♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Selamat Membaca ... ^_^
"Oke! Kita putus!"
Naruto masih mengatur nafasnya yang sedikit memburu. Cengkeramannya pada ponsel tampak semakin mengerat. Ia mengambil jas dan tas kerja yang semula terjatuh di depan kakinya. Kemudian, ia masuk ke kamarnya dan melemparkan ponselnya ke atas ranjang.
Ternyata yang ditakutkan Naruto menjadi kenyataan. Tetapi ia sudah menduga kalau ini akan segera terjadi, yaitu putusnya hubungan antara dirinya dengan kekasihnya. Karena itu, Naruto jadi tidak menyesal dengan keputusannya sendiri. Bukankah ia sudah memutuskan untuk menjadi suami yang sesungguhnya untuk istrinya? Jadi, tidak ada gunanya jika ia tetap mempertahankan hubungannya dengan kekasihnya.
Naruto meletakkan tasnya di atas meja kerjanya. Ia melepaskan dasinya sebelum masuk ke kamar mandi. Lalu, jas dan dasinya ia masukkan begitu saja ke keranjang pakaian kotornya.
Rasanya Naruto ingin segera berendam di bak mandinya. Mungkin air hangat dapat sedikit membantu untuk menenangkan pikirannya. Sepertinya kali ini ia perlu berendam lebih lama dari biasanya.
.
.
.
Naruto's point of view
Segarnya… Aku merasa lebih tenang setelah mandi. Entah mengapa aku tidak ingin memikirkan lagi masalahku dengan kekasih—err… mantan kekasihku. Aku tidak ingin suasana hatiku menjadi buruk dan akhirnya berimbas kepada Hinata.
Ngomong-ngomong soal Hinata… Apa Hinata sudah pulang? Sepertinya aku tidak mendengar ada orang lain yang masuk ke dalam rumah. Suara motor Hinata juga tidak kedengaran. Aku melihat jam dinding di kamarku. Pukul tujuh. Pantas saja aku lapar karena sudah waktunya makan malam. Biasanya kalau aku pulang jam segini, Hinata sudah berada di dapur dan menyiapkan makan malam.
Aku berjalan ke dapur. Keadaannya masih sama seperti saat aku baru pulang tadi. Sekarang aku melangkahkan kakiku ke kamar Hinata. Aku langsung membuka pintu yang tidak terkunci itu. Gelap. Sepertinya Hinata belum pulang.
Aku duduk di sofa ruang tamu. Sambil menunggu Hinata, aku mencoba untuk menghubungi mantan kekasihku. Menurutku, ada yang aneh dengannya. Selama ini, dia tidak pernah mempermasalahkan keadaan ekonomiku. Biasanya dia malah selalu mendukungku. Belakangan ini, dia seolah menghindariku dan mencoba untuk membuatku membencinya. Sebenarnya ada apa dengannya?
Jika memang harus memutuskan hubungan sebagai kekasih, maka aku tidak mau kalau kami juga putus sebagai teman. Bukankah dulu hubunganku dengannya berawal dari berteman? Sesuatu yang dimulai dengan baik-baik, tidak seharusnya diakhiri dengan cara yang tidak baik. Aku tidak mau memiliki musuh, apalagi seseorang yang pernah mendominasi hatiku…
Tidak kusangka dia mau menjawab teleponku…
"Ada apa, Naruto?"
Suaranya terdengar berat. Aku hafal suaranya yang seperti ini. Dia… menangis?
"Kenapa menangis?" tanyaku datar.
Dia tidak menjawab. Aku masih bisa mendengar isaknya yang sepertinya ingin dia sembunyikan dariku. Mungkin dia masih butuh waktu untuk bicara denganku.
"Maaf, Naruto. Aku tidak bermaksud untuk bicara seperti tadi kepadamu. Aku…"
Dia berbicara dengan susah payah di tengah isak tangisnya. Aku bersabar untuk menunggu apa yang akan dikatakannya. Lama aku menunggu, tapi dia belum juga mengeluarkan suaranya lagi. Yang terdengar masih isak tangis.
Sepertinya aku tahu penyebab tangisannya…
"Akhir-akhir ini, kau… mencoba segala cara agar bisa berpisah denganku, 'kan?" tanyaku ragu.
Kudengar isakannya semakin keras. Sepertinya tangisannya semakin menjadi. Berarti dugaanku benar.
"Yang kau katakan memang benar. Tapi, aku punya alasan untuk berpisah denganmu."
"Alasan? Kau sudah menemukan pria yang lebih pantas untukmu?"
"Bukan seperti itu, Naruto…"
"Lalu?" Aku mulai tidak sabar.
"Aku juga wanita, Naruto. Sama seperti istrimu. Aku pasti akan sangat sedih jika suamiku menduakanku. Aku membayangkan diriku yang berada di posisi istrimu. Aku tidak mau kalau nantinya aku mendapatkan karma ketika aku menjadi seorang istri…"
Hukum karma. Hukum aksi reaksi. Hukum sebab akibat. Sesungguhnya perbuatan dan hasilnya tidak bisa dipisahkan, bagaikan dua sisi mata uang. Selama aku berhubungan dengan kekasihku, aku tidak pernah memikirkan perasaan Hinata yang menjadi istriku. Mungkin pernah, tapi sangat jarang. Apa aku akan mendapatkan hukum karma atas perbuatanku terhadap Hinata? Kenapa aku merasa sangat takut ketika memikirkannya?
"Pikirkan jika ibumu yang berada di posisi istrimu. Apa sebagai anaknya kau akan terima?"
Tentu saja aku tidak terima. Mungkin aku akan membenci ayahku.
Hinata…
"Kau masih mau menjadi temanku 'kan, Naruto?"
"Tentu saja. Eh, aku tutup dulu…"
Tanpa menunggu jawaban darinya aku langsung menekan tombol merah di ponselku. Aku meletakkan ponselku begitu saja di sampingku.
Hinata…
Aku menyandarkan kepalaku di bantalan sofa. Aku menengadah sambil memandangi cicak yang merayap di atap. Sekarang cicak itu hanya sendiri, sama sepertiku…
Sendirian di rumah memang tidak enak…
Biasanya kalau seperti ini aku langsung menelepon kekasihku dan bicara sampai berjam-jam. Entah itu penting atau tidak penting. Sepertinya lebih banyak tidak pentingnya. Walaupun begitu, biasanya aku tetap senang berlama-lama bicara dengannya. Tapi, kenapa aku tadi malah menutup teleponnya?
Hinata…
Kenapa sekarang kepalaku dipenuhi oleh Hinata? Kenapa ada wanita seperti dia? Kenapa Hinata bisa begitu sabar menghadapiku?
Selama ini, Hinata tidak pernah protes jika aku pulang lebih malam karena aku menemui kekasihku sepulang kerja. Hinata hanya diam dan menyambutku dengan senyumannya. Sesekali dia juga menanyakan keadaanku atau pekerjaanku. Dia hanya diam jika aku tidak membalas pertanyaannya, lalu pergi ke kamar mandi untuk menyiapkan air hangat untukku.
Hinata belum tidur sebelum aku pulang karena dia ingin memanaskan makan malam yang sudah dingin. Tapi, terkadang aku malah membiarkan makanan itu tidak tersentuh karena sebelumnya aku sudah makan bersama kekasihku…
Kenapa bentuk cicaknya menjadi tidak jelas? Kenapa pandanganku menjadi buram? Apa lampu di ruang tamuku sudah rusak?
Cih! Kenapa air mataku menetes? Apa aku menangis? Aku 'kan pria…
Memangnya pria tidak boleh menangis? Seorang pria juga manusia…
Hinata…
Kenapa aku jadi begitu merindukanmu?
Cepatlah pulang, Hinata…
Jika aku tahu keberadaanmu saat ini, maka aku akan langsung menjemputmu…
Aku ingin bertemu dan meminta maaf padamu, istriku…
Tiba-tiba aku mendengar suara perutku yang keroncongan. Aku kelaparan…
Sebenarnya Hinata kemana, sih? Mengajar di taman kanak-kanak tidak sampai semalam ini, 'kan?
Apa dia lupa kalau masih punya suami di rumah dan harus dia urus? Jangan-jangan Hinata selingkuh? Mungkin sekarang dia sedang bersama kekasihnya? Awas saja kalau dia berani menduakanku!
Aku merasakan getaran ponselku. Aku mengambilnya dan dengan cepat aku menjawabnya ketika membaca siapa yang meneleponku.
"Kau dimana?" tanyaku tidak sabaran.
"Ma..maaf, Naruto-kun. A..aku belum bisa pulang…"
Belum bisa pulang katanya? Jangan-jangan dia mau menginap di rumah kekasihnya? Tidak akan kubiarkan!
"Kau harus pulang!"
"Ta..tapi, aku masih di rumah sakit…"
"Di rumah sakit?" Seketika aku berdiri dari dudukku. "Kau kenapa?" Entah mengapa aku jadi mengkhawatirkannya.
"Ta..tadi aku mengalami kecelakaan kecil…"
"Kecelakaan? Sudah kubilang, kau harus hati-hati saat mengendarai sepeda motor…"
"I..iya, ma..maaf…"
Kenapa minta maaf padaku?
"Sekarang kau di rumah sakit mana?"
.
.
.
Aku berlari di koridor rumah sakit menuju kamar rawat Hinata. Aku tidak peduli dengan pandangan orang-orang di sekitarku yang kelihatannya tidak senang dengan ulahku. Aku juga tidak peduli kalau mereka marah, yang penting aku bisa segera melihat keadaan Hinata.
Hinata bilang, dia hanya mengalami kecelakaan kecil. Tapi, aku tetap saja merasa khawatir…
Sekali lagi lariku terhenti. Ah! Lagi-lagi sandalku lepas. Kenapa aku tadi memakai sandal rumahku, sih? Bodohnya aku…
Kenapa semakin lama aku merasa kedinginan, ya? Aduh… ini 'kan masih musim dingin. Aku malah hanya memakai kaos hitam lengan pendek dan celana jeans rumahan. Selain lupa memakai sepatu, aku juga lupa memakai jaket atau mantelku. Tapi, orang lupa tidak bisa disalahkan…
Akhirnya aku sampai di depan kamar rawat Hinata. Sebelum masuk, aku mengatur nafasku yang terengah. Kenapa aku merasa deg-degan, ya? Hanya memikirkan akan bertemu Hinata sudah membuat jantungku berdebar-debar seperti ini. Hah? Kau memang bodoh, Naruto! Jantungmu berdetak lebih cepat karena kau baru saja lari dari tempat parkir sampai sini! Baka! Ahou! Kenapa semakin lama aku merasa semakin bodoh, ya?
Setelah nafasku normal kembali, aku memutar kenop pintu dan mendorong pintunya dengan perlahan. Anehnya, jantungku malah berdetak semakin cepat. Senyumku mengembang ketika melihat Hinata yang sedang tersenyum di atas ranjangnya. Tapi, sepertinya senyum itu bukan untukku. Seketika senyumku memudar…
Sepertinya Hinata belum menyadari kehadiranku. Selain Hinata, ada seorang pria berambut perak—yang sepertinya adalah dokter—berdiri di dekat ranjang dan juga seorang anak kecil yang duduk di tepi ranjang Hinata. Sepertinya anak kecil berambut pirang pucat itu masih berumur lima tahunan. Anak kecil itu kelihatan senang bersama Hinata.
Aku masih berdiri di ambang pintu yang sedikit kubuka. Rasanya canggung sekali jika aku tiba-tiba mendatangi Hinata. Kenapa aku jadi merasa kalau ada semacam tembok tebal yang menghalangiku untuk mendekatinya? Mereka bertiga terlihat begitu akrab. Bukan mereka bertiga, karena kulihat dokter itu lebih banyak diam. Tapi, anak kecil itu…
Kenapa anak kecil itu terlihat begitu akrab dengan Hinata? Hinata juga terlihat sabar menanggapi celotehan anak kecil itu. Ah! Hinata 'kan guru taman kanak-kanak, pasti sudah terbiasa dengan anak kecil. Apa anak kecil itu salah satu murid Hinata? Kalau iya, kenapa sudah malam masih diizinkan menemani Hinata?
Kenapa aku seolah cemburu kepada anak perempuan itu?
"Nanti kalau Okaa-chan sudah sembuh, Shion mau tidur sama Okaa-chan…"
Okaa-chan? Siapa yang dipanggil Okaa-chan oleh anak kecil itu? Di sana hanya ada satu perempuan dewasa, yaitu Hinata. Apa Hinata…
"Shion, ayo pulang."
"Otou-chan pulang sendiri saja. Shion mau sama Okaa-chan. Shion 'kan kangen Okaa-chan…"
Rengekan anak perempuan itu serasa berubah menjadi tombak yang menusuk tepat di jantungku. Otou-chan katanya? Jadi, anak perempuan itu adalah putri dokter yang masih terlihat muda itu? Lalu, kenapa dia memanggil Hinata dengan…
"Na..Naruto-kun? Sejak kapan di sana? Kenapa tidak langsung masuk?"
Suara Hinata mengacaukan pertanyaan-pertanyaan yang ada di benakku. Tanpa menjawab pertanyaannya, aku masuk dan langsung menutup pintunya. Aku berjalan pelan ke arahnya. Aku mencoba tersenyum kepada Hinata, dan dia membalasnya dengan senyum yang lebih manis.
Dokter dan anaknya juga ikut melihat ke arahku. Kulihat, dokter berkacamata itu memang tampak masih muda. Mungkin berumur tiga puluh tahunan. Dan… anak perempuan itu… terlihat mirip dengan Hinata…
Hah? Kenapa putri dokter itu mirip Hinata? Kenapa dia memanggil Hinata dengan Okaa-chan? Apa dokter itu memiliki hubungan khusus dengan Hinata? Apa dia anak Hinata dengan dokter itu? Tidak mungkin !!
.
#~**~#
==>_| ~To Be Continued~o Be Continued~
Disclaimer:
Naruto © Kishimoto Masashi
Warning: AU, OOC, TYPO(S), sinetron banget
Naruto, Hinata: 25 tahun
♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀♂♀
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Selamat Membaca ... ^_^
"Oke! Kita putus!"
Naruto masih mengatur nafasnya yang sedikit memburu. Cengkeramannya pada ponsel tampak semakin mengerat. Ia mengambil jas dan tas kerja yang semula terjatuh di depan kakinya. Kemudian, ia masuk ke kamarnya dan melemparkan ponselnya ke atas ranjang.
Ternyata yang ditakutkan Naruto menjadi kenyataan. Tetapi ia sudah menduga kalau ini akan segera terjadi, yaitu putusnya hubungan antara dirinya dengan kekasihnya. Karena itu, Naruto jadi tidak menyesal dengan keputusannya sendiri. Bukankah ia sudah memutuskan untuk menjadi suami yang sesungguhnya untuk istrinya? Jadi, tidak ada gunanya jika ia tetap mempertahankan hubungannya dengan kekasihnya.
Naruto meletakkan tasnya di atas meja kerjanya. Ia melepaskan dasinya sebelum masuk ke kamar mandi. Lalu, jas dan dasinya ia masukkan begitu saja ke keranjang pakaian kotornya.
Rasanya Naruto ingin segera berendam di bak mandinya. Mungkin air hangat dapat sedikit membantu untuk menenangkan pikirannya. Sepertinya kali ini ia perlu berendam lebih lama dari biasanya.
.
.
.
Naruto's point of view
Segarnya… Aku merasa lebih tenang setelah mandi. Entah mengapa aku tidak ingin memikirkan lagi masalahku dengan kekasih—err… mantan kekasihku. Aku tidak ingin suasana hatiku menjadi buruk dan akhirnya berimbas kepada Hinata.
Ngomong-ngomong soal Hinata… Apa Hinata sudah pulang? Sepertinya aku tidak mendengar ada orang lain yang masuk ke dalam rumah. Suara motor Hinata juga tidak kedengaran. Aku melihat jam dinding di kamarku. Pukul tujuh. Pantas saja aku lapar karena sudah waktunya makan malam. Biasanya kalau aku pulang jam segini, Hinata sudah berada di dapur dan menyiapkan makan malam.
Aku berjalan ke dapur. Keadaannya masih sama seperti saat aku baru pulang tadi. Sekarang aku melangkahkan kakiku ke kamar Hinata. Aku langsung membuka pintu yang tidak terkunci itu. Gelap. Sepertinya Hinata belum pulang.
Aku duduk di sofa ruang tamu. Sambil menunggu Hinata, aku mencoba untuk menghubungi mantan kekasihku. Menurutku, ada yang aneh dengannya. Selama ini, dia tidak pernah mempermasalahkan keadaan ekonomiku. Biasanya dia malah selalu mendukungku. Belakangan ini, dia seolah menghindariku dan mencoba untuk membuatku membencinya. Sebenarnya ada apa dengannya?
Jika memang harus memutuskan hubungan sebagai kekasih, maka aku tidak mau kalau kami juga putus sebagai teman. Bukankah dulu hubunganku dengannya berawal dari berteman? Sesuatu yang dimulai dengan baik-baik, tidak seharusnya diakhiri dengan cara yang tidak baik. Aku tidak mau memiliki musuh, apalagi seseorang yang pernah mendominasi hatiku…
Tidak kusangka dia mau menjawab teleponku…
"Ada apa, Naruto?"
Suaranya terdengar berat. Aku hafal suaranya yang seperti ini. Dia… menangis?
"Kenapa menangis?" tanyaku datar.
Dia tidak menjawab. Aku masih bisa mendengar isaknya yang sepertinya ingin dia sembunyikan dariku. Mungkin dia masih butuh waktu untuk bicara denganku.
"Maaf, Naruto. Aku tidak bermaksud untuk bicara seperti tadi kepadamu. Aku…"
Dia berbicara dengan susah payah di tengah isak tangisnya. Aku bersabar untuk menunggu apa yang akan dikatakannya. Lama aku menunggu, tapi dia belum juga mengeluarkan suaranya lagi. Yang terdengar masih isak tangis.
Sepertinya aku tahu penyebab tangisannya…
"Akhir-akhir ini, kau… mencoba segala cara agar bisa berpisah denganku, 'kan?" tanyaku ragu.
Kudengar isakannya semakin keras. Sepertinya tangisannya semakin menjadi. Berarti dugaanku benar.
"Yang kau katakan memang benar. Tapi, aku punya alasan untuk berpisah denganmu."
"Alasan? Kau sudah menemukan pria yang lebih pantas untukmu?"
"Bukan seperti itu, Naruto…"
"Lalu?" Aku mulai tidak sabar.
"Aku juga wanita, Naruto. Sama seperti istrimu. Aku pasti akan sangat sedih jika suamiku menduakanku. Aku membayangkan diriku yang berada di posisi istrimu. Aku tidak mau kalau nantinya aku mendapatkan karma ketika aku menjadi seorang istri…"
Hukum karma. Hukum aksi reaksi. Hukum sebab akibat. Sesungguhnya perbuatan dan hasilnya tidak bisa dipisahkan, bagaikan dua sisi mata uang. Selama aku berhubungan dengan kekasihku, aku tidak pernah memikirkan perasaan Hinata yang menjadi istriku. Mungkin pernah, tapi sangat jarang. Apa aku akan mendapatkan hukum karma atas perbuatanku terhadap Hinata? Kenapa aku merasa sangat takut ketika memikirkannya?
"Pikirkan jika ibumu yang berada di posisi istrimu. Apa sebagai anaknya kau akan terima?"
Tentu saja aku tidak terima. Mungkin aku akan membenci ayahku.
Hinata…
"Kau masih mau menjadi temanku 'kan, Naruto?"
"Tentu saja. Eh, aku tutup dulu…"
Tanpa menunggu jawaban darinya aku langsung menekan tombol merah di ponselku. Aku meletakkan ponselku begitu saja di sampingku.
Hinata…
Aku menyandarkan kepalaku di bantalan sofa. Aku menengadah sambil memandangi cicak yang merayap di atap. Sekarang cicak itu hanya sendiri, sama sepertiku…
Sendirian di rumah memang tidak enak…
Biasanya kalau seperti ini aku langsung menelepon kekasihku dan bicara sampai berjam-jam. Entah itu penting atau tidak penting. Sepertinya lebih banyak tidak pentingnya. Walaupun begitu, biasanya aku tetap senang berlama-lama bicara dengannya. Tapi, kenapa aku tadi malah menutup teleponnya?
Hinata…
Kenapa sekarang kepalaku dipenuhi oleh Hinata? Kenapa ada wanita seperti dia? Kenapa Hinata bisa begitu sabar menghadapiku?
Selama ini, Hinata tidak pernah protes jika aku pulang lebih malam karena aku menemui kekasihku sepulang kerja. Hinata hanya diam dan menyambutku dengan senyumannya. Sesekali dia juga menanyakan keadaanku atau pekerjaanku. Dia hanya diam jika aku tidak membalas pertanyaannya, lalu pergi ke kamar mandi untuk menyiapkan air hangat untukku.
Hinata belum tidur sebelum aku pulang karena dia ingin memanaskan makan malam yang sudah dingin. Tapi, terkadang aku malah membiarkan makanan itu tidak tersentuh karena sebelumnya aku sudah makan bersama kekasihku…
Kenapa bentuk cicaknya menjadi tidak jelas? Kenapa pandanganku menjadi buram? Apa lampu di ruang tamuku sudah rusak?
Cih! Kenapa air mataku menetes? Apa aku menangis? Aku 'kan pria…
Memangnya pria tidak boleh menangis? Seorang pria juga manusia…
Hinata…
Kenapa aku jadi begitu merindukanmu?
Cepatlah pulang, Hinata…
Jika aku tahu keberadaanmu saat ini, maka aku akan langsung menjemputmu…
Aku ingin bertemu dan meminta maaf padamu, istriku…
Tiba-tiba aku mendengar suara perutku yang keroncongan. Aku kelaparan…
Sebenarnya Hinata kemana, sih? Mengajar di taman kanak-kanak tidak sampai semalam ini, 'kan?
Apa dia lupa kalau masih punya suami di rumah dan harus dia urus? Jangan-jangan Hinata selingkuh? Mungkin sekarang dia sedang bersama kekasihnya? Awas saja kalau dia berani menduakanku!
Aku merasakan getaran ponselku. Aku mengambilnya dan dengan cepat aku menjawabnya ketika membaca siapa yang meneleponku.
"Kau dimana?" tanyaku tidak sabaran.
"Ma..maaf, Naruto-kun. A..aku belum bisa pulang…"
Belum bisa pulang katanya? Jangan-jangan dia mau menginap di rumah kekasihnya? Tidak akan kubiarkan!
"Kau harus pulang!"
"Ta..tapi, aku masih di rumah sakit…"
"Di rumah sakit?" Seketika aku berdiri dari dudukku. "Kau kenapa?" Entah mengapa aku jadi mengkhawatirkannya.
"Ta..tadi aku mengalami kecelakaan kecil…"
"Kecelakaan? Sudah kubilang, kau harus hati-hati saat mengendarai sepeda motor…"
"I..iya, ma..maaf…"
Kenapa minta maaf padaku?
"Sekarang kau di rumah sakit mana?"
.
.
.
Aku berlari di koridor rumah sakit menuju kamar rawat Hinata. Aku tidak peduli dengan pandangan orang-orang di sekitarku yang kelihatannya tidak senang dengan ulahku. Aku juga tidak peduli kalau mereka marah, yang penting aku bisa segera melihat keadaan Hinata.
Hinata bilang, dia hanya mengalami kecelakaan kecil. Tapi, aku tetap saja merasa khawatir…
Sekali lagi lariku terhenti. Ah! Lagi-lagi sandalku lepas. Kenapa aku tadi memakai sandal rumahku, sih? Bodohnya aku…
Kenapa semakin lama aku merasa kedinginan, ya? Aduh… ini 'kan masih musim dingin. Aku malah hanya memakai kaos hitam lengan pendek dan celana jeans rumahan. Selain lupa memakai sepatu, aku juga lupa memakai jaket atau mantelku. Tapi, orang lupa tidak bisa disalahkan…
Akhirnya aku sampai di depan kamar rawat Hinata. Sebelum masuk, aku mengatur nafasku yang terengah. Kenapa aku merasa deg-degan, ya? Hanya memikirkan akan bertemu Hinata sudah membuat jantungku berdebar-debar seperti ini. Hah? Kau memang bodoh, Naruto! Jantungmu berdetak lebih cepat karena kau baru saja lari dari tempat parkir sampai sini! Baka! Ahou! Kenapa semakin lama aku merasa semakin bodoh, ya?
Setelah nafasku normal kembali, aku memutar kenop pintu dan mendorong pintunya dengan perlahan. Anehnya, jantungku malah berdetak semakin cepat. Senyumku mengembang ketika melihat Hinata yang sedang tersenyum di atas ranjangnya. Tapi, sepertinya senyum itu bukan untukku. Seketika senyumku memudar…
Sepertinya Hinata belum menyadari kehadiranku. Selain Hinata, ada seorang pria berambut perak—yang sepertinya adalah dokter—berdiri di dekat ranjang dan juga seorang anak kecil yang duduk di tepi ranjang Hinata. Sepertinya anak kecil berambut pirang pucat itu masih berumur lima tahunan. Anak kecil itu kelihatan senang bersama Hinata.
Aku masih berdiri di ambang pintu yang sedikit kubuka. Rasanya canggung sekali jika aku tiba-tiba mendatangi Hinata. Kenapa aku jadi merasa kalau ada semacam tembok tebal yang menghalangiku untuk mendekatinya? Mereka bertiga terlihat begitu akrab. Bukan mereka bertiga, karena kulihat dokter itu lebih banyak diam. Tapi, anak kecil itu…
Kenapa anak kecil itu terlihat begitu akrab dengan Hinata? Hinata juga terlihat sabar menanggapi celotehan anak kecil itu. Ah! Hinata 'kan guru taman kanak-kanak, pasti sudah terbiasa dengan anak kecil. Apa anak kecil itu salah satu murid Hinata? Kalau iya, kenapa sudah malam masih diizinkan menemani Hinata?
Kenapa aku seolah cemburu kepada anak perempuan itu?
"Nanti kalau Okaa-chan sudah sembuh, Shion mau tidur sama Okaa-chan…"
Okaa-chan? Siapa yang dipanggil Okaa-chan oleh anak kecil itu? Di sana hanya ada satu perempuan dewasa, yaitu Hinata. Apa Hinata…
"Shion, ayo pulang."
"Otou-chan pulang sendiri saja. Shion mau sama Okaa-chan. Shion 'kan kangen Okaa-chan…"
Rengekan anak perempuan itu serasa berubah menjadi tombak yang menusuk tepat di jantungku. Otou-chan katanya? Jadi, anak perempuan itu adalah putri dokter yang masih terlihat muda itu? Lalu, kenapa dia memanggil Hinata dengan…
"Na..Naruto-kun? Sejak kapan di sana? Kenapa tidak langsung masuk?"
Suara Hinata mengacaukan pertanyaan-pertanyaan yang ada di benakku. Tanpa menjawab pertanyaannya, aku masuk dan langsung menutup pintunya. Aku berjalan pelan ke arahnya. Aku mencoba tersenyum kepada Hinata, dan dia membalasnya dengan senyum yang lebih manis.
Dokter dan anaknya juga ikut melihat ke arahku. Kulihat, dokter berkacamata itu memang tampak masih muda. Mungkin berumur tiga puluh tahunan. Dan… anak perempuan itu… terlihat mirip dengan Hinata…
Hah? Kenapa putri dokter itu mirip Hinata? Kenapa dia memanggil Hinata dengan Okaa-chan? Apa dokter itu memiliki hubungan khusus dengan Hinata? Apa dia anak Hinata dengan dokter itu? Tidak mungkin !!
.
#~**~#
==>_| ~To Be Continued~o Be Continued~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar